Di semenanjung senja, tatkala sang pemberi waktu meneriakan aba-aba,tugas pemberi titah hendak terlaksana. Kepak sayap mempertegas alur cerita, suasana menjelang pekat sememang memanjakan naluri haus darah.
Dalam tangkupan dahan marpoyan, di kesendirian melabuhkan kerisauan. Duduk termenung laksana cuilan patung, dengan sayap bergambar luka bekas tembakan, wajah tirus menandakan kurang pasokan. Entah zat besi, atau sekedar keberanian melewati ranjau tepukan kanan-kiri.
Mendengung, nging nging nging. Itu berubah tangisan. Saat berpesta menjelma malapetaka, waktu bersuka ria mencipta nelangsa.
"Alat penghisapku rusak, mata tak jelas menentukan sasaran, saraf-sarafku beku di rundung kengerian".Â
Darah manusia telah tercampur pekatnya dosa, aroma busuk oleh ketamakan tiada terkira. Ini jenis manusia tak pernah ku jumpa sehari yang lalu, kini berhimpitan antri mendonorkan kepalsuan.
*****
Bagan batu, desember 2020