Masih di sini. Bersama dinding-dinding beku peron stasiun, duduk termenung memenuhi deret bangku kosong kesepian, di antara tiang-tiang penyangga atap yang berdiri mematung. Hanya semilir angin yang bekejaran di antara semua benda, sebentar tertawa cekikikan, sekejap kemudian berlari menjauh sambil bergandengan tangan.
Setahun yang lalu, di pertengahan mei saat hujan mengunci hati, menghantarmu untuk pergi dengan janji segera kembali, mengucap sumpah di saksikan lalu-lalang manusia berjalan tergesa-gesa. "Kang, tunggu aku sepuluh purnama lagi. Kan ku bawakan sebentuk hatiku menggenapi rasa rindumu. Tunggu aku di stasiun ini."
Kini, dua belas purnama terlampaui, dinding-dinding tebal mulai rapuh menanggung janji, tiang penyangga sering oleng karena jemu menanti. Hanya bangku kosong tetap diam dalam semedi, entah lelah karena tersiksa, atau pasrah tersebab kekasih melalaikan sumpah. Perasaanku terwakili.
Mei telah mempertemukan mei lagi, hujan telah beranak-pinak dengan gerimis. Di peron stasiun yang terasa sepi, aku memandang dua jalur rel yang seiya sekata dalam perjalanan. Tak pernah bosan bercengkrama, tak pernah meninggalkan pasanganya dalam derita.
Hingga kereta terakhir datang, bayanganmu tak jua menyapa. Di balik kaca jendela, di setiap gerbong berjejal ribuan wajah, namun senyumu sebagai  penawar rindu tak pernah menjelma. Adakah kembalimu kembali tertunda? Ataukah sumpah dan janji dahulu telah terlupa.
Hingga senja berganti senja, hingga baliho reklame mulai menua, di antara sirene keberangkatan dan kedatangan, di antara malam dan siang yang saling bekejaran, aku menitipkan sebongkah rinduku pada deretan bangku yang menyaksikan dalam diam.
Bagan batu, mei 2020