"Lepaskan aku! Lepaskan aku."
Seorang leleki kerempeng berteriak-teriak sambil memeluk tiang listrik di pelataran sebuah pertokoan. Tubuhnya hanya di balut kaus oblong compang-camping, tanpa alas kaki. Bahkan celana pendek warna cokelat sudah koyak di sana-sini.
Matanya sebentar melotot memandang nyalang ke sekitar, kemudiam terpejam seperti orang tengah merasakan nikmat menyatu dengan kehidupan. Tanganya yang berkuku hitam sesekali mencakari tiang listrik dengan geram, sambil mulutnya meracau entah membaca mantra atau sekedar kutukan.
"Lepaskan aku. Aku hanya ingin korupsi, aku ingin mengabdi kepada tuan bermata satu di dalam dompet. Kasihanilah diriku, beri kesempatan sekali saja."
Suaranya terdengar memelas, gerakan tubuhnya berubah seperti orang menyembah, masih tiang listrik juga yang menjadi sasaraanya.
"Dasar orang gila. Cita-cita koq menjadi koruptor. Memangny ada sekolah di negeri ini yang mengajarkan muridnya bercita-cita menjadi pelaku korupsi?" bapak-bapak berbaju safari menggerutu sambil tanganya memasukan aneka belanjaan kebagasi mobil.
"Namanya orang gila, pak. Pikiranya suka ngawur. Kita saja yang mengaku waras kadang suka melakukan korupsi."
Tukang parkir yang sedari tadi membantu mengangkat belanjaan bapak-bapak itu ikut nimbrung menyatakan opini. Mungkin ini pendapat rakyat kebanyakan, melihat pemberitaan tentang pelaku korupsi yang sering kali berwajah bahagia padahal sudah tertangkap tangan oleh KPK.
"Menurutmu siapa yang tidak waras?" tanya bapak-bapak itu penuh tanya.
"Kita."
"Koq kita?"