Mohon tunggu...
Kang Marakara
Kang Marakara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengangguran Terselubung

Belajar dan mengamalkan.hinalah aku,bila itu membuatmu bahagia.aku tidak hidup dari puja-pujimu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suara Hati, Siapa Bisa Membatasi

29 April 2020   15:03 Diperbarui: 29 April 2020   14:55 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sempena menyambut hari puisi nasional tahun ini, tiba-tiba pikiran dan hati tidak mau di ajak berkongsi untuk sekedar meneteskan barang sebait puisi. 

Padahal di hari yang sakral bagi dunia puisi, tak elok rasanya bila makhluk-makhluk penghuni dan pemujanya tidak melahirkan satupun karya berjenis kelamin puisi.

Tapi apa hendak di kata, keraguan yang bersumber dari kerisauan membaca aneka berita tentang apa itu sejatinya puisi, membuat saya berpikir ulang tentang keberadaan saya di dimensi ini.  

Benarkah saya menulis puisi? Benarkah saya seorang pengagum karya puisi? Apakah niat yang mendasari setiap bait kata yang saya aku sebagai puisi? Dan ribuan pertanyaan yang bagi orang lain mungkin tidak terlalu penting.

Setiap orang pasti punya definisi sendiri tentang apa itu puisi, bagaimana ia tercipta, dan bagaimana memaknai dan menafsirkanya. Puisi adalah buah ekspresi penulisnya, kebebasan untuk menuangkan segala daya cipta yang ia miliki. 

Kebebasan yang sama pula bagi penikmat puisi, bebas menafsirkan dan memaknai sesuai kadar pemahaman masing-masing orang. Bahkan sebuah nama besar di jagat puisi pernah mengatakan dalam samar, "semakin multi tafsir sebuah puisi, semakin berhasil sang penyair menghadirkan puisi." 

Entah pujangga mana yang mengatakanya, mungkin kalimat ini adalah buah mimpi saya setelah seharian menghayal tentang hari puisi nasional 2020.

Instropeksi Diri

Jujur sampai tadi pagi, saya seperti enggan untuk menulis sebuah puisi. Bukan sedang patah hati, atau sedang di rundung susah yang tak bertepi. [ bukankah bagi pemuisi, patah hati itu sumber insfirasi. 

Tidak ada kesusahan dan kerisauan kecuali bisa terwakilkan lewat rima dan diksi] tapi saya bersengaja mengunci hati tempat biasa segala kata meluncur membentuk bait puisi.

Saya niatkan bermuhasabah dan instropeksi diri terhadap puisi, tentang puisi, dan hubungan saya dengan puisi selama ini. Mumpung momen sakral hari puisi masih menghadirkan magisnya pada semua penyair, kesempatan untuk menyusun pemahaman dan arah berpuisi rasanya bukan sesuatu yang mengada-ada apalagi di anggap sok pahlawan kesiangan atau sesuatu yang basi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun