Mohon tunggu...
Ahmad Muhammad Qomar
Ahmad Muhammad Qomar Mohon Tunggu... Apoteker - Seorang apoteker bipolar yang mencintai seni dan sedang menekuni dunia bisnis

Aku lupa, aku hanyalah seorang pendosa yang masih harus memperbaiki diri.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Berhenti Cemas Berlebih dan Mari Tetap Menjaga Diri

9 April 2020   21:46 Diperbarui: 9 April 2020   21:47 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Dunia saat ini sedang geger dilanda pandemi Covid-19 yang disebabkan virus Corona. Yah, penyakit yang awalnya hanya endemi ini dengan cepat menjelma menjadi wabah hingga epidemi. Bahkan hanya dalam waktu lebih kurang satu bulan, ia pun sudah ditetapkan sebagai pandemi di seluruh dunia.

Wajar saja bila pandemi Covid-19 membawa berbagai dampak buruk, selain efek terburuknya adalah kematian bagi pasien yang terpapar virus Corona. Beberapa dampaknya sangat jelas terlihat di kehidupan manusia, mulai dari sisi ekonomi, kesehatan, hingga pendidikan.

Sehingga, dari sini masyarakat pun menjadi cemas. Alih-alih selain berusaha melindungi diri, kita justru terintimidasi oleh perasaan cemas yang berlebih. Padahal dengan menerapkan imbauan menjaga kebersihan, beraktivitas di dalam rumah, dan menjaga jarak dengan orang-orang itu sudah cukup.

Di sini poin pentingnya, bahwa ternyata melakukan upaya perlindungan diri itu tidak akan cukup, bila kita justru melemahkan diri kita dengan perasaan cemas dan khawatir yang berlebih.

Kenapa kita tidak boleh cemas dan khawatir berlebih?

Melansir hasil studi Harvard Medical School tentang Anxiety and Physical Illness dari laman Halodoc, bahwa orang-orang dengan tingkat kecemasan tinggi berisiko melemahkan kondisi fisik dan psikis. Jadi hal buruk pertama yang diakibatkan oleh kecemasan adalah penurunan kekebalan tubuh dan besarnya peluang berbagai penyakit menyerang.

Perasaan cemas yang kita tunjukkan juga ternyata dapat menular ke orang-orang di sekitar kita. Memang kondisi emosional ini tidak menular seperti halnya flu, tetapi dapat mempengaruhi suasana hati orang lain. Alasannya, karena kita adalah manusia yang saling berinteraksi.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Judy Ho, psikolog klinis dan forensik Kalifornia Selatan, dari laman Health, bahwa emosional seseorang bisa menular karena manusia adalah makhluk sosial yang merespon lingkungan.

Jadi saat lingkungan kita mulai dilanda kecemasan berlebih, muncul kondisi prilaku baru di mana setiap orang akan mulai mementingkan diri sendiri. Berusaha menyelamatkan diri dan menutup interaksi secara wajar dengan orang-orang. Bahayanya, karena sikap seperti ini dapat merugikan orang lain.

Ini sudah terjadi di sekitar kita. Misalnya, ketakutan yang merebak membuat orang-orang melakukan panic buying, atau berbelanja barang-barang tertentu secara berlebihan. Belum lagi kondisi ini dimanfaatkan oleh sejumlah kalangan untuk meraup keuntungan dengan menimbun dan menaikkan harga barang. Hebatnya karena perilaku ini berefek domino pada banyak orang. Itu semua akibat dari kecemasan yang berlebih.

Di sisi lain, justru ada sejumlah orang yang walau tetap diselimuti kecemasan, mereka jadi lupa dengan upaya untuk menjaga diri. Mereka tampaknya mengalihkan kecemasan dengan tetap berakitivitas secara wajar di luar rumah. Misalnya, mengantri mengambil sembako dan bantuan, atau berolahraga gembira secara beramai-ramai. Padahal penyebaran virus sangat rentan terjadi di kerumunan seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun