Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengusaha Taksi dan Pemilik Parpol Ternyata Sama Saja!

22 Maret 2016   19:40 Diperbarui: 22 Maret 2016   19:59 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aksi mogok beberapa angkutan umum bersamaan dengan demo sopir taksi konvensional di Gedung DPR dan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/3), sangat bisa dimaklumi dan dipahami.  Mereka adalah orang-orang kecil yang merasa gantungan hidup, mata pencaharian, dan penghasilannya –yang telah sesuai dengan ketentuan undang-undang—sedang  terancam. Ironisnya, pihak-pihak yang mestinya bertanggungjawab memberikan jaminan dan kepastian terhadap rasa aman kepada mereka dalam mencari nafkah justru seakan tutup mata.

Selain pemerintah (yang terlihat tidak memiliki ketegasan dalam mengatur  transportasi umum), pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kesejahteraan para sopir itu adalah pengusaha angkutan umum (taksi salah satunya) itu sendiri.

Dalam konteks persoalan yang menjadi pemicu demo sekarang ini, yakni maraknya “taksi” on line berplat hitam yang disebut tidak sesuai dengan undang-undang,  para pengusaha taksi  itulah yang seharusnya berjuang “melawannya”, bukan para sopir.

Bagaimana melawannya?  Ya gunakan strategi pemasaran yang digunakan oleh “taksi gelap” itu. Jika konsumen menyukai pelayanan cepat, praktis, dan pasti ya apa salahnya taksi konvensional menyesuaikan diri dengan trend tersebut.  

Yang terjadi justru kebalikannya. Para pengusaha taksi konvensional alih-alih jeli dan responsif terhadap perubahan trend, justru cenderung menyalahkan pihak “pesaing” (taksi on line) dan pihak regulator (pemerintah) hanya karena merasa usahanya legal dan telah membayar pajak dan “palak” secara reguler. Bukannya berjuang secara elegan menggunakan jalur birokrasi—dan  politik bila perlu, malahan membiarkan (baca: memporvokasi)para supir untuk berdemo.

Dengan berdemonya para supir, yang nota bene memang orang-orang jalanan, maka dampaknya sudah sama-sama bisa kita lihat, arus lalu lintas mengalami kemacetan dimana-mana, kerusuhan dan pengrusakan tidak bisa dibendung  oleh aparat.

Di sinilah terlihatnya kesamaan pengusaha angkutan dengan pemilik (kaum elit) partai politik.  Para pemilik parpol,  karena merasa telah berjasa memberi kartu anggota/jaket parpol kepada para kader cenderung merasa, dan lantas menuntut, para anggota tersebut wajib membesarkan parpol dengan cara memberi sumbangan/iuran rutin ke partai.

Sikap seperti itu pulalah sepertinya yang dimiliki para pengusaha taksi. Karena merasa telah ‘berjasa’ memberi pekerjaan kepada para sopir maka para sopir itulah yang mereka tuntut membesarkan perusahaan dengan cara memasukkan setoran sebanyak-banyaknya ke kas perusahaan. Sebaliknya ketika perusahaan terancam, para sopir itu pula yang diminta berjibaku mempertahankan eksistensi perusahaan. Miris bukan?

Kemiripan lain pengusaha taksi dengan pemilik parpol adalah gagal-baca. Pemilik parpol gagal membaca aspirasi rakyat, pengusaha taksi gagal membaca trend perubahan selera konsumen.

Kegagalan parpol membaca aspirasi publik sangat terlihat dari fenomena lahirnya calon-calon pemimpin lewat jalur idenpenden. Di Jakarta sebagai contoh terkini, Ahok dapat dipastikan sukses mengumpulkan sejuta tanda tangan guna memenuhi persyaratan mencalonkan diri dalam pilgub 2017. Ini menandakan bahwa publik menginginkan figur pemimpin yang ada pada diri dan sudah ditunjukkan oleh Ahok selama memimpih DKI Jakarta.  Ironisnya, meski tahu Ahok sudah tidak tertarik dengan perahu parpol dalam pencalonannya, ada saja parpol yang tanpa malu-malu mendukung pencalonan Ahok dengan dalih mendukung aspirasi publik.

Pengusaha taksi konvensional lebih parah lagi. Di era teknologi komunikasi yang sudah serba canggih seperti sekarang ini, dimana untuk transaksi (belanja) barang pun orang sudah menggunakan jalur on line, mereka tidak memanfaatkannya. Hanya karena merasa usahanya sudah sah, legal dan dilindungi undang-undang, mereka merasa punya hak untuk memonopoli pasar jasa transportasi dan tidak boleh ada pesaing lain, terlebih jika status pesaing itu belum jelas diatur oleh undang-undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun