Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi secara Politis Diuntungkan oleh Manuver Rizal Ramli

20 Agustus 2015   13:11 Diperbarui: 20 Agustus 2015   13:11 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita semua tentu belum lupa terhadap berbagai berita miring soal hubungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Wapres Jusuf Kalla (JK). Ingat, saat Jokowi mulai digadang-gadang pers sebagai sosok layak menjadi capres, ketika dia masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, JK lah yang berkomentar “bisa rusak negera ini jika Jokowi yang miskin pengalaman jadi presiden”. Setelah menjabat presiden dan wapres pun sempat ada berita bahwa hubungan keduanya terkesan kurang ‘harmonis’, konon karena berbeda pandangan soal strategi dan kebijakan pembangunan.

Berikutnya, yang masih tergolong hangat, adalah berita soal adanya menteri yang menghina Jokowi. Menghina, dalam arti menteri tersebut merendahkan kemampuan Jokowi mengelola negara ini. Meskipun santer digosipkan bahwa menteri tersebut adalah menteri yang baru-baru ini diserang Rizal Ramli, yakni menteri BUMN Rini Soemarno (RS), toh sampai saat ini tidak pernah jelas siapa orangnya.

Jokowi terlalu tahu diri
Meskipun banyak pihak menilai dua pemberitaan tersebut bisa dikategorikan berkualifikasi tinggi—untuk diterima sebagai fakta, toh Presiden Jokowi terkesan menutupinya dan berusaha untuk tidak merisaukannya .

Upaya Jokowi untuk tetap tenang dan ‘mengalah’ menghadapi dua isu tersebut sepertinya lebih karena Jokowi sangat tahu diri. Tahu diri bahwa kualifikasi (akademik) dan pengalamannya di tingkat nasional, terlebih internasional, baik sebagai birokrat maupun pengusaha, belumlah se-level dengan JK dan RS. Jika Jokowi mendebat mereka, pasti Jokowi akan tersudut. Bukan tersudut karena kalah visi, tetapi tersudut karena statusnya sebagai ‘anak bawang’ dalam kancah ekonomi dan politik nasional dan global tersebut.

Untungnya, setelah lama diwacanakan, Jokowi akhirnya ‘mendapat restu’ untuk merombak kabinet. Nah, yang mengejutkan (khsusnya bagi saya) adalah direkrutnya Rizal Ramli ke dalam kabinet. Mengejutkan karena, pertama, sepak terjang Rizal yang selalu berperan sebagai pengkritik kebijakan pemerintah, termasuk pemerintahan Jokowi ini. Kedua, karena Rizal bukan ditempatkan di pos yang sesuai dengan pengalamannya (di Kabinet Gusdur).

Kehadiran Rizal dengan manuvernya yang membuat gerah banyak pihak itu, bahkan dilakukannya hanya dalam hitungan jam pasca dilantik, sepertinya sangat terkait dengan sikap ketahudirian (sadar diri) Jokowi.

Rizal menjadi bumper
Sulit memahami, terutama bagi kita orang Indonesia, manuver yang dilakukan Rizal Ramli. Belum genap sepuluh hari dilantik sebagai Menko Kemaritiman dia sudah mengkritik rencana pemerintah, dimana dia sendiri adalah bagian dari pemerintah tersebut. Tak tanggung-tanggung yang dikritik adalah rencana pengadaan listrik 35.000 MW dimana dia harus berhadapan dengan JK dan pembelian Pesawat jumbo untuk garuda dimana harus berhadapan dengan Menteri BUMN.  Akibat ulahnya itu, ramai-ramai orang menyebut mantan aktivis 78 ini berlaku tidak etis, tidak tahu diri, tidak disiplin, tidak tahu persoalan.

Pertanyaannya, sebodoh dan sekonyol itukah seorang Rizal Ramli? Rasanya tidak. Orang (para pembaca) boleh sependapat boleh tidak, menurut saya Rizal Ramli melakukan itu karena ‘diminta’ atau paling tidak ‘mendapat restu’ Jokowi. Sekeras-kerasnya watak orang Indonesia, tak peduli itu Rizal Ramli, sebagai cendikiawan yang pernah duduk di pemerintahan, pastilah paham betul apa arti rahasia jabatan, apa itu etika jabatan, pentingnya komunikasi dan koordinasi, serta arti kekompakan bagi sebuah kabinet/pemerintahan.

Rencana pengadaan listrik 35.000 MW dan pembelian pesawat jumbo jet untuk Garuda, yang jadi target Rizal, boleh memang sudah disetujui Jokowi. Tetapi terhadap teknis pengadaan, momen dan tahapan pengadaan, pemilihan mitra kerja sama, perhitungan besarnya anggaran yang harus dikeluarkan, boleh jadi tidak sepenuhnya masuk akal bagi Jokowi.

Hanya saja karena sifat ketahudiriannya, ditambah ketidaksukaannya berdebat, menyebabkan Jokowi merasa kurang memiliki amunisi dan daya gempur yang cukup menyatakan ketidaksetujuannya itu. Karena itu dia membutuhkan orang yang kapabilitas dan pengalamannya mumpuni untuk memberi ‘peringatan’ kepada pihak-pihak yang sangat memiliki kepentingan terhadap dua proyek raksasa tersebut. Jokowi tahu betul bahwa orang tepat untuk itu adalah Rizal Ramli.

Suara Rizal, suara Jokowi, suara rakyat
Sekali lagi, orang boleh setuju atau tidak, indikasi bahwa Jokowi membutuhkan Rizal untuk ‘menjinakkan’ pihak-pihak yang ngotot dan sangat berkepentingan terhadap kedua rencana besar tersebut terlihat dari pengakuan Rizal tentang alasan dia menerima tawaran Jokowi untuk bergabung dalam Kabinet Kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun