Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Indonesia Dipimpin Manusia Kasta Rendahan, Beginilah Jadinya

15 Mei 2015   06:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:02 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Salah seorang kolega saya yang asli berdarah Bali, penganut Hindu yang taat, dalam suatu obrolan santai pernah berujar:  “Terpuruknya Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan, khususnya  dalam era reformasi ini, karena kekuasaan berada di tangan orang-orang dari kasta yang salah.”

Bermodal pemahaman saya (non-Hindu) tentang konsep kasta, saya bertanya  dengan sedikit protes pada lelaki  paruh baya yang biasa kami sapa Pak  Gede itu. “Maaf Pak Gede, bukankah kasta itu adalah status social yang disandang  seseorang semenjak dia lahir. Jika benar, bukankah para pemimpin kita sekarang ini, mayoritas berasal dari keluarga-keluarga golongan atas? Ada anak pahlawan nasional, anak petinggi tentara, anak mantan pejabat tinggi, anak guru besar atau kiyai besar,  bahkan ada juga anak mantan presiden. Tidakkah mereka itu terlahir sebagai manusia berkasta tinggi?”

Mendengar pertanyaan saya yang bernada sanggahan itu, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada salah satu PTN itu akhirnya terpancing juga untuk memberi penjelasan lebih panjang tentang pendapatnya di atas.

“Begini…” katanya mengawali ‘kuliah’ singkat kepada saya yang rangkumannya saya sajikan di bawah ini:

Kasta bukan status-sosial lahir

Sistem sosial berdasarkan kasta (brahmana, ksatria, waisya, dan sudra) di kalangan umat Hindu sudah lama digugat akibat pemahaman yang salah tentang esensi dan  praktiknya. Pemahaman lama tentang kasta memang persis  seperi yang Anda (penulis maksudnya) pahami tadi, bahwa jika seseorang terlahir dari keluarga ksatria, maka si anak tersebut adalah seorang ksatria. Sebaliknya, jika seorang wanita  sudra melahirkan, maka anaknya adalah sudra.

Jika dipahami seperti itu maka kasta mau tidak mau akan diartikan sebagai system klasifikasi  status sosial. Sayangnya, dengan pemahaman seperti itu esensi dan fungsi kasta (warna) tidak bisa digunakan untuk menjelaskan dinamika perkembangan peradaban manusia dari masa ke masa.

Oleh sebab itu konsep kasta  tidak tepat dipakai untuk mengklasifkasi manusia berdasarkan status sosial lahir, melainkan golongan ragam/warna (varna) manusia berdasarkan watak/tabiat/bakat yang dibawanya saat lahir.

Dengan pemahaman ini maka Brahmana bukanlah (secara otomatis) sebutan bagi orang-orang yang telah dan/atau sedang berprofesi sebagai pendeta, kiyai, romo, guru, atau ilmuwan, melainkan sebutan untuk orang yang memiliki kualitas kepribadian, kecerdasan, kebijaksanaan yang membuat orang tersebut layak/pantas/cocok untuk menjadi  resi, pendeta, kiyai, romo, guru, atau ilmuwan.

Ksatria tidak serta-merta bisa disematkan kepada  seseorang yang sedang menjabat kepala daerah, kepala kantor, tentara, atau polisi, apalagi kepada anak-anaknya. Melainkan, sebutan untuk seseorang yang terlahir dengan sifat pemberani, jujur, tegas, konsekuen, loyal dan berdedikasi. Orang dengan sifat bawaan seperti ini akan sangat cocok mengemban tugas-tugas manajerial, birokrasi, kemiliteran dan sejenisnya.

Berikutnya, Waisya. Kasta para pedagang, petani, nelayan dan sejenisnya.Pemahaman usang menyebutkan bahwa seorang anak yang terlahir dari ibu berkasta waisya maka dia adalah seorang waisya. Bukti-bukti yang dapat kita jumpai dalam perjalanan sejarah peradaban menunjukkan bahwa tidak semua anak pedagang (terlahir sebagai waisya) sukses berdagang, tidak semua anak petani pandai bertani. Mengapa? Karena berdagang, bertani, atau pekerjaan produktif lainnya membutuhkan bakat dan keahlian.  Waisya adalah warna manusia yang membawa watak dan bakat alam (kecerdasan dan kreativitas) yang cocok untuk menjalankan usaha-usaha produktif.

Terakhir, Sudra. Penyandang kasta Sudra identik dengan kebodohan, kemiskinan, dan kehinaan, sebab dalam pandangan lama Sudra adalah sebutan untuk golongan masyarakat yang tidak memiliki sesuatu yang berharga selain tenaga kasarnya. Itulah pandangan umat Hindu yang masih menerapkan konsep  kasta dalam system social masyarakatnya dalam memandang seorang babu, jongos, pesuruh, buruh kasar dan sejenisnya. Padahal, fakta sejarah juga telah membuktikan banyak anak-anak keluarga Sudra terlahir dengan tingkat kecerdasan tinggi, kreatif, pemberani dan bijaksana. Dengan demikian maka Sudra sesungguhnya bukanlah golongan /status social, melainkan warna manusia yang memiliki tingkat kesetiaan, ketaatan/kepatuhan tinggi dan penurut. Oleh sebab itu orang yang terlahir dengan warna Sudra cocok dan sanggup menjalani pekerjaan kasar termasuk menjadi babu atau jongos.

Jangan mengambil alih kewajiban (pekerjaan) kasta lain

Untuk memperkuat ‘tudingannya’ bahwa keterpurukan Indonesia sekarang ini akibat banyaknya pekerjaan (profesi/jabatan) yang dijalankan oleh orang-orang dari kasta yang salah, Pak Gede mengutip kisah epic Mahabharata.

“Maaf, apakah Anda pernah menonton sinetron Mahabharata atau membaca buku Mahabharata atau Bhagawadgita?” tanyanya pada saya.  “Ya” jawab saya.

“Baguslah, kalau begitu” katanya seraya melanjutkan penjelasannya sebagai berikut.

Pecahnya perang Bharatayudha antara Pandawa dan Kurawa tidak bisa dilepaskan dari peran Mahaguru Drona. Nah, Drona adalah seorang Brahmana yang tugas pokoknya adalah memberi pencerahan spiritual kepada umat. Tetapi karena cintanya yang terlalu besar kepada anaknya, Aswatama, dan keinginan kuat untuk membahagiakan anaknya dia meninggalkan kewajibannya sebagai kaum Brahmana dan menjalani kehidupan baru sebagai ksatria di pihak Kurawa.

Karena terlanjur mengikatkan diri pada sumpah ksatria maka standar kebenaran yang harus dia tegakkan dan kewajiban yang harus dia pikul tidak sama lagi dengan seorang Brahmana. Akibatnya, Drona yang berkepribadian asli Brahmana, tak bisa berbuat banyak untuk menyuarakan suara hatinya apalagi untuk berpihak pada kebenaran. Dia terpaksa  harus rela bediri di barisan depan sebagai pembela Kurawa. Meski sejatinya perang Bharatha itu bisa dia cegah tetapi sumpah setianya  sebagai kastria kepada Kurawa membuat dia tak berdaya. Maka, perang maha dahsyat antara dua saudara itu tak terhindarkan dan Kurusetra pun brubah menjadi lautan api dan darah.

Berkaca pada kisah tersebut, penting disadari oleh umat manusia bahwa jangan pernah menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan kepribadian, bakat, pengalaman, pengetahuan, dan keahlian yang dimiliki. Jika itu dilanggar maka kehancuranlah yang akan terjadi.

Kasta/warna para pemimpin Indonesia sekarang

“Sekarang mari kita tengok keadaan negeri kita dan para pemimpinya  saat ini” lanjut Pak Gede. Siapa yang bisa menutupi fakta bahwa bangsa ini sedang berada dalam kondisi menyedihkan. Berbagai jenis kejahatan seakan berlomba untuk mencatatkan diri sebagai yang ter, ter, di negeri. Korupsi, penyalahgunaan narkotika, pelacuran, pencurian, pembegalan, dan pembunuhan setiap hari terjadi.  Sementara itu, tingkat kesejahteraan rakyat tak pernah beranjak. Nilai tukar rupiah anjlok, kenaikan BBM, kenaikan tarif listrik, kenaikan harga LPG, dan kenaikan harga bahan makanan tak pernah henti menghantui kehidupan rakyat yang semakin hari semakin tak berdaya.

Mengapa semua itu bisa terjadi? Karena, terlalu banyak pekerjaan ditangani oleh orang-orang dari kasta (warna) yang salah. Ada pengusaha yang menjadi bupati, wali kota, gubernur, dan menteri. Tidak sedikit pula professor, dokter, insinyur, bahkan kiyai yang menjadi anggota DPR dan pimpinan partai politik.

Sebenarnya tidak akan menjadi soal jika si pengusaha dan para kaum profesional itu memang menyandang sifat lahir seorang ksatria. Dia akan menjadi pejabat yang mampu mengemban tugas secara efektif dan efisien. Tetapi, kalau dia terlahir dengan warna yang sama dengan statusnya sebagai pengusaha (Waisya)  atau pemimpin agama (Brahmana) maka pastilah dia tidak akan cocok mengemban tugas-tugas para ksatria itu.

Mengapa pribadi Brahmana tidak cocok menjadi birokrat? Brahmana adalah orang yang berkepribadian bijak, penuh welas asih,  dan tidak pragmatis. Watak/kepribadiannya itu akan menjadi penghalang tindakannya, akibatnya dia akan selalu gamang dan terlalu banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan kenegaraan yang harus  serba cepat, tepat, efisien dan efektif.

Waisya tidak cocok menjadi pengemban tugas Ksatria karena pribadi waisya selalu melihat segala sesuatu menggunakan kacamata untung-rugi, untung rugi bagi dirinya. Tidak ada tenaga boleh terkuras, tidak ada waktu yang boleh terbuang, tidak ada uang yang boleh melayang tanpa keuntungan yang akan didapatnya. Bayangkan, apa jadinya sebuah masyarakat (atau negara) bila pemimpinnya menjadikan jabatannya sebagai media untuk mencari keuntungan buat diri/keluarganya?

Yang lebih kacau lagi bila jabatan kenegaraan tadi diduduki oleh orang yang terlahir sebagai Sudra. Bayangkan, bagaimana mungkin orang yang lebih banyak mengandalkan otot, rendah kreativitas, mudah manut tanpa sikap kritis, setia buta pada majikan (orang yang membayarnya), akan dapat diandalkan mengemban kewajiban/tugas kaum ksatria mengurus negara?

Kasta/Warna manusia tidaklah berjenjang

“Namun demikian…” kata Pak Gede memulai segmen penutupnya.

Perbedaan warna  manusia  jangan diartikan sebagai berbedaan derajat kemuliaan. Tidak ada kasta/warna yang lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lainnya. Semuanya seatara dengan peran berbeda.  Keempat warna itu ada untuk saling melengkapi. Kasta Brahmana tidak dapat eksis tanpa kasta lainnya. Ksatria tak kan berdaya tanpa Waisya dan Sudra. Waisya tak kan bisa langgeng (berkereasi dan berproduksi) tanpa Ksatria dan Sudra.  Sudra tak akan memiliki sandaran hidup tanpa Waisya, Ksatria, dan Brahmana.

Ketika setiap orang sadar dan mau menjalani kehidupan sesuai kasta/warnanya (kodrat), tidak kemaruk, jauh dari sifat iri dan dengki, pastilah kehidupan manusia mulai tingkat keluarga, masyarakat, hingga tingkatan negara, bahkan dunia sekali pun akan harmonis, damai, dan sejahtera.

Sayangnya lebih banyak orang yang tidak mengenal kasta/warna dirinya sendiri. Akibatnya ketika godaan kekuasaan, kekayaan, sanjungan dan popularitas merasuki dirinya maka dia pun mencari  dan menghlalkan berbagai cara untuk menjadi penguasa. Karena warna pribadinya tidak cocok dengan kekuasaan yang dimilikinya maka yang terjadi kemudian adalah keterpurukan.

Bahan bacaan: (1)Bhagavadgita (2) Mahabharatha

Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun