Jika Rhoma Irama berkepentingan mengingatkan umat Islam Jakarta untuk memilih Cagub yang seiman, maka sesungguhnya hal tersebut adalah sesuatu yang wajar. Sebab, Rhoma memang warga Jakarta dan secara terbuka mendukung Foke-Nara.
Tetapi jika Amien Rais yang nota bene mengaku orang Solo menyarankan agar warga Jakarta  memilih Cagub secara cerdas, setelah memaparkan kekurangan Jokowi dalam membangun Solo, maka ini sesuatu yang amat-sangat perlu dicermati.
Integritas Jokowi pantas dipertanyakan
Jika benar bahwa angka kemiskinan (persentase tentunya) di Solo lebih tinggi daripada di Jakarta; Â daerah kumuh dan gelap di waktu malam serta macet masih terjadi di berbagai sudut kota, Â seperti yang disampaikan Amien Rais, maka sesungguhnya Jokowi bukanlah sosok pemimpin yang jujur.
Artinya, popularitas Jokowi bukan karena prestasinya dalam membangun, melainkan karena sukses berkolaborasi dengan media dalam menutup rapat kekurangan tersebut di satu sisi, dan mengekspose hal-hal yang meninggikan citra dirinya di sisi yang lain.
Di sinilah peringatan Rhoma Irama kepada calon pemilih di DKI Â menjadi relevan. Sebab, dalam Islam seorang pemimpin itu haruslah amanah. Kejujuran adalah penentu bakal amanah atau tidaknya seorang pemimpin.
Itu pula agaknya inti saran Amien Rais agar warga Jakarta menetapkan pilihan secara cerdas. Sebab, ketidak cerdasan dan kekurang-cermatan dalam memilih kepala daerah dampaknya terasa selama sedikitnya 5 tahun.
Jokowi boleh jadi sangat ambisius
Banyak orang beranggapan bahwa dengan tidak pernah mengambil gaji selama menjabat wali kota Solo, adalah ekspresi kepribadian Jokowi yang tidak mata duitan. Benarkah? Berapa gaji wali kota? Diambil atau tidak memang tidak akan menjadi masalah bagi keluarga wali kota, sebab tempat tinggal, kendaraan, supir, pembantu rumah tangga, pakaian, makanan, air bersih, listrik dan telepon semua sudah ditanggung negara.
Satu hal lagi, jangan lupa Jokowi itu seorang pengusaha yang boleh jadi penghasilannya jauh lebih besar ketimbang gaji resmi wali kota. Jadi tidak mengambil gaji—yang  memang tidak terlalu signifikan bagi kebutuhan sehari-hari—janganlah dibaca harafiah. Boleh jadi itu disengaja untuk membangun citra dalam rangka mencapai ambisi yang lebih tinggi.
Sebagai orang yang tahu karakter emosi masyarakat Indonesia yang mudah tersentuh oleh hal-hal sentimental dan gampang terprovokasi oleh  isu-isu primordial, Jokowi tentu menyadari betul pentingnya arti citra tersebut. Tidak mata duitan, merakyat, peduli wong cilik adalah citra yang memang terbukti paling ampuh untuk menggaet simpati masyarakat.
Jokowi, orang Jawa yang tidak nJawani
Kita tentu masih ingat bagaimana hubungan Jokowi dengan atasannya Bibiet Waluyo. Sebagai orang Solo sikap Jokowi terhadap Bibiet Waluyo sungguh diluar bayangan orang tentang Orang Jawa. Â Orang Jawa yang nJawani (teguh memegang budaya dan pandangan hidup Jawa) biasanya sangat menghormati orang yang lebih tua, apalagi atasannya.
Sebagai Gubernur Jateng, Bibiet Waluyo adalah atasan Jokowi. Sebagai politisi Bibiet Waluyo adalah kolega Jokowi, sesama kader PDIP. Dari segi umur dan pengalaman Bibiet Waluyo jauh lebih tua daripada Jokowi. Dalam format hubungan seperti itu, jangankan dengan kacamata budaya Jawa, dengan kacamata budaya birokrat pun Jokowi mestinya menaruh hormat dan loyal.
Tetapi, demi citra yang boleh jadi dibutuhkannya dalam rangka merengkuh ambisi yang lebih tinggi, Jokowi sepertinya kehilangan adat ketimuran. Terakhir, sikap Jokowi yang tidak nJawani diperlihankannya saat menggelar syukuran ulang tahunnya menjelang masa kampanye Pilgub DKI putaran pertama bulan Juni lalu.
Saat itu Jokowi mengaku mendapat kado istimewa dari Bibiet Waluyo. Ternyata yang dimaksudnya kado itu adalah Surat Ijin Cuti dari Gubernur jateng yang dinilainya terlambat dikeluarkan oleh Bibiet. Tentu seloroh itu memiliki tujuan agar public tahu bahwa Bibiet Waluyo tidak suka pada dirinya dan betapa dirinya mendapat perlakuan tidak bersahabat dari sang gubernur.
Tindakan Jokowi itu bukan hanya tidak nJawni, alih-alih datang sowan dan memnita doa restu kepada Bibiet sebagai orang tua, kolega, sekali gus atasannya agar perjuangannya menuju kursi DKI-1 berjalan sukses, Â dia justru meledek seniornya itu.
Hmmmm…