Mohon tunggu...
FX HendroW
FX HendroW Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Memberi warna lain dalam kehidupanku, lahir dan besar di kota Ambarawa dan mencari rejeki di Sangatta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gemuruh Ombak

13 Desember 2018   06:41 Diperbarui: 13 Desember 2018   06:44 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

" Bapak, lari pak, lari", teriak anak kecil disebelahku kepada sosok orang tua yang sedang berada diatas perahu dan merajut jala.
Sang bapak hanya terdiam tanpa menoleh sedikitpun
Anak kecil itu kembali berteriak lebih lantang sambil menggerakkan kedua tangannya sebagai isyarat. Tetapi bapak tua itu tetap tak bergeming, malah makin asyik kembali merajut jalanya. Kembali kuperhatikan sekeliling, kemungkinan apa yang membuat anak kecil ini berteriak pada bapaknya. 

Dalam hati aku berucap ini tidak ada bahaya yang mengancam, tetapi mengapa dia tetap berupaya sekuat tenaga meneriaki bapaknya.

Kulihat awan yang bergerak seiring hembusan angin yang mendera, sepertinya biasa saja. Hawa khan pinggir pantai dengan tebing yang bermacam bentuk dan ukuran, ada yang terjal, ada yang landai. Bagiku yang hanya seorang penikmat dari hamparan alam yang indah, tidak akan dapat tahu tentang prediksi alam yang akan terjadi dalam pandangan mata.

Prediksi tentang alam yang tak kuketahui itulah yang barangkali membuat satu sisi dalam kalbuku tidak mengerti akan simbol yang dinyatakan oleh anak kecil itu. Tanpa menunggu waktu lama, kembali anak kecil itu berteriak sambil mencoba turun dari bukit terjal tempatnya berdiri, mencoba mencari jalan menuju tempat bapaknya.

Akupun dengan sigap turut membantu anak itu menuruni bukit ini. Sambil mencoba bertanya padanya " Dik, pelan-pelan turunnya, bukit ini terjal", kataku kepadanya, tapi tetap tidak digubris olehnya. Dari raut muka tegang yang terpancar, seolah menyiratkan gemuruh di dada yang tidak tersalurkan. Teriakan lantang yang disampaikan, dan simbol-simbol yang telah ditunjukkan seakan tidak berarti karena tidak adanya respon balik dari bapaknya.

Dengan setengah berlari, anak kecil itu menuruni bukit yang tidak terlalu tinggi, sambil terus berteriak lantang, dan seakan teriakan itu dibawa larut oleh hembusan angin laut yang menampar wajah ini. Akupun berusaha menyusul anak itu karena takut akan terjadi sesuatu dalam "pengejaran" ini.

Tidak sampai 10 menit kemudian, tibalah kami dibawah bukit yang langsung berhadapan dengan pantai pasir putihnya. Segera anak kecil itu berlari kencang menghampiri bapaknya seakan takut tidak terkejar oleh waktu. Dengan nafas yang masih setengah ngos-ngosan, anak kecil itu berucap kepada bapaknya, " Pak, ayo lari pak, lihat ombak semakin besar, burung berarak, dan angin semakin kencang". 

Sambil mengusap dahi dari keringat yang bercucuran serta mendekap anak kecil itu, bapak berucap " Terima kasih anakku, kamu sudah banyak belajar, sekarang ayo kita pulang segera, sebelum air semakin pasang, ajak serta tuan muda itu yang kejar-kejaran sama kamu. 

" Orang itu pak?" tanyanya pada sang bapak sambil menunjuk ke arahku. " Iya, yang itu", jawab aang bapak. " Aku gak kenal siapa orang itu pak", jawabnya. " Tapi bapak lihat tadi dia membantu kamu menuruni bukit itu, berarti dia saudara kita nak", ujar bapak itu dengan senyum lembutnya. 

" Jadi bapak lihat aku turun dan lari tadi?" tanya anak kecil itu selanjutnya. Sang bapak hanya mengangguk pelan dan tersenyum. Dengan sedikit kesal anak itu berucap, "Bapak", dan larilah dia meninggalkan kami berdua

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun