Mohon tunggu...
KANA KURNIAWAN
KANA KURNIAWAN Mohon Tunggu... Penulis - Ketua Umum PP Pemuda PUI, Direktur Mataram Institut

menulis adalah berbagi sekaligus mencerahkan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres dan Politisasi HAM

22 Oktober 2017   00:05 Diperbarui: 22 Oktober 2017   04:59 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah pemilu legislatif usai. Pertarungan partai politik terus mengharu biru. Upaya saling jegal telah menjadi potret keseharian nasional. Adalah sosial media sebagai media bebas dengan jangkauan luas, menjadi sarana ekspresi perseteruan para politisi maupun calon presiden. Tidak hanya karena murah, namun efektif menggiring opini bagi masyarakat kelas menengah. Hastag "Melawan lupa" misalnya, telah menjadi tagline baru dalam kosakata kamus politik Indonesia. I

stilah ini terkesan sebagai upaya penyadaran terhadap era pemerintah sebelumnya. Pengungkapan ini tentu searah dengan pesan politik si pembuatnya. Beragam model, mulai dari puisi hingga twit. Tidak heran, pemilu 2014 syarat sastra bermakna politik.

Isu terbaru dari "Melawan Lupa" adalah isu HAM. Misalnya, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Lupa mengkampanyekan tolak Capres pelanggar HAM. Tentu itu adalah hak sebagai warga negara untuk bersuara dan berserikat dalam pandangan berbeda. Tapi akan menjadi pertanyaan besar, kenapa isu HAM kembali menguat saat menjelang pemilu bukan sebelum-sebelumnya?. Atau saat 2009 di mana Megawati-Prabowo sebagai pasangan Capres-Cawapres. Maka isu ini sangat kontras antara 2009 dan 2014. Terlebih memang, jika beberapa lembaga survey menyebutkan Prabowo, dan Jokowi sangat berpeluang memenangkan pemilu presiden.

Dari sini  bisa dipetakan tentang siapa yang membuat isu dan siapa yang dibidik. Misalnya puisi Fadli Zon (Gerindra) mewakili Prabowo dan Aria Bima (PDI-P) mewakili Jokowi saling bersahutan. Puisi itu bertujuan menggugah publik untuk mempertimbangkan pilihan terbaik dan tidak. Dan lebih ekstrim lagi saling menjatuhkan dengan kelemahan masing-masing. Dalam pertarungan ini "masyarakat sipil" pun terlihat sangat intens menggerakkan isu HAM. Entah siapa yang dibela. Jelasnya, HAM terus digoreng menjadi isu sensitif mengalahkan isu korupsi dan yang lainnya.

Saya melihatnya, pemilu ini bukan soal perebutan kekuasaan semata, keterlibatan masyarakat sipil dalam politik lebih kepada espektasi perubahan. Kegelisahan itu muncul sebagaimana masyarakat sebagai objek kekuasaan harus menanggung akibat dari salahnya kebijakan, sementara lain orang-orang disekitar kekuasaan meraup kesejahteraan. Ini faktor pendorong dimana sipil terus terlibat. Hal lain adalah adanya ketimpangan yang akut antara keadilan masyarakat bawah dengan masyarakat elit. Sebagaimana analisis John Rawls (1995), bahwa prinsip keadilan yang hakiki adalah keadilan yang dirasakan warganya. Dalam penjabarannnya, bahwa perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus berdasarkan teori keadiIan reflektive equilibrium, yaitu keadilan dilihat secara substantive dari moral. 

Pergerseran isu HAM

Pada titik sikap ini "masyarakat sipil" menuntut haknya adalah wajar karena HAM telah dijamin oleh konstitusi negara. Hak dasar sebagai warga negara tidak boleh seorang pun merendahkannya. Karenanya, setiap warga negara memiliki imunitas dalam HAM. Sebagaimana dinamika politik yang cepat dan di luar dugaan, isu HAM pun terus mengikuti. 

Hanya saja gerakan ini tidak se-massifsebelum pemilihan legislatif apalagi presiden. Jika ini sengaja didengungkan pada saat-saat tertentu dengan tujuan politik, maka di masa mendatang isu HAM hanya menjadi barang yang tidak laku  dijual ke publik. Ini bisa dilihat bagaimana Komnas HAM yang dulu gagah dan berwibawa, kini seperti macan ompong yang kehabisan energy dalam menegakkan HAM.  

Jika memang isu HAM tidak mewakili kelompok tertentu, kiranya masyarakat sipil harus mendorong terjadinya konsolidasi demokrasi bagi semua pihak tanpa terkecuali. Konsolidasi Juan J. Linz dan Alfred ini patut direnungkan. Setidaknya beberapa poin penting yang sangat relevan dengan kondisi negara. Hampir semua era pemerintahan sejak Soeharto hingga era SBY belum terpecahkan. Karenanya, ini adalah pekerjaan rumah negara yang tidak ada penegasan. Perlu dorongan masyarakat untuk mengkampanyekan. Misalnya, ideologi supremasi hukum, birokrasi yang menganut legal-rasional yang artinya melayani masyarakat serta negara memfasilitasi terbentuknya masyarakat ekonomi yang berorientasi kesejahteraan bagi semua kalangan, tidak adanya monopoli ekonomi.

Mengakhiri tulisan ini mari kita renungkan makna keadilan dari Aristoteles "Keadilan merupakan kebajikan yang lengkap dalam arti seutuhnya karena keadilan bukanlah nilai yang harus dimiliki dan berhenti pada taraf memilikinya bagi diri sendiri, melainkan juga merupakan "pelaksanaan aktif", dalam arti harus terwujud dalam relasi dengan orang lain"

)* Penulis adalah Mahasiswa S-3 SPs UIN Jakarta, Sekretaris Jenderal PP Pemuda Perstuan Ummat Islam (PUI)

Note: tulisan lawas

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun