Mohon tunggu...
KANA KURNIAWAN
KANA KURNIAWAN Mohon Tunggu... Penulis - Ketua Umum PP Pemuda PUI, Direktur Mataram Institut

menulis adalah berbagi sekaligus mencerahkan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Doa Politik

26 September 2017   08:08 Diperbarui: 26 September 2017   08:55 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Kana Kurniawan)*

Do'a HR. Muhammad Syafi'i anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra menggempar bumi nusantara. Jagat media sosial mendadak gemuruh. Saling bersahutan. Pidato kenegaraan presiden Jokowi Widodo seakan tersilap. Raut wajah sang pendo'a begitu semangat berkobar. Menabuh kentongan di siang bolong. Semua terperanjat dalam khidmat paripurna tahunan. Kelompok pemerintah menuding, do'a ini sebagai do'a politik. Tapi bagi oposisi selepas KMP bubar, do'a ini merupakan narasi "perlawanan." Panggung kekuatan legislatif yang meredup bisa menyala kembali. Meskipun tidak sekuat perebutan posisi kunci di legislatif.

Dalam bahasa agama, do'a adalah sakralitas memohon. Berasal dari bahasa Arab, daa', yad'u, da'watan yang artinya menyeru, memanggil, mengajak, dan memohon (Mahmud Yunus, 1990). Bagi hamba yang fakir dan lemah, do'a adalah cara meminta kekuatan dan harapan perbaikan. Di Indonesia, simbolitas agama masih menjadi obat mujarab membangun sentimen politik termasuk dalam do'a. Publik lebih tertarik dengan simbol, daripada substansi. Itulah kenapa, seperti Hari Tanoe Perhimpunan Indonesia Raya (Perindo), belakangan banyak melakukan safari politik ke pesantren-pesantren. Tiada lain membangun sentimen politik melalui simbol agama dengan kalangan kyai/santri.

Perilaku serupa bisa dilihat dalam "demokrasi" ramadhan. Ramadhan lalu menjadi ajang kontestasi, hampir semua panggung agama dibenturkan dengan tokoh politik. Politisi memasang spanduk, berbagi sembako, perangkat sholat, berderma makanan ta'jil buka puasa. Dalam penampilan pun seperti sarung, kopiah, gamis dan sorban serasa melekat dalam tiap kesempatan. Begitu gagah rupawan dan religius terlihatnya. Inilah wajah ganda dari politik. Tentu ini adalah sah dilakukan siapa pun. Tidak ada larangan. Sebab politik akan menggunakan segala cara meraih kekuasaan. Sekalipun sering terlihat memanfaatkan di atas penderitaan.

Bicara do'a dalam momentum peringatan kemerdekaan membangun perspektif makna lain. Apakah kemerdekaan Indonesia yang ke-71 tahun ini betul telah lepas dari penjajah?. Penjajah bisa bangsa sendiri atau dari luar. Betulkah rakyat selama ini menikmati kemerdekaannya?. Jangan-jangan pesta pora kemerdekaan yang diperingati hanyalah kesemuan. Pawai, perlombaan hingga pernak pernik seperti menutup kehidupan sesungguhnya. Rakyat tergusur tempatnya, menjadi kuli di negerinya, dan segala kejahatan termasuk korupsi yang semakin parah. Bila dicerna tidak dengan baper(bawa perasaan), do'a ini bukan untuk era presiden Joko Widodo saja, tetapi sepanjang arti merdeka dalam kata-kata semata. 

Cinta oposisi dalam bait do'a sejujurnya merupakan ekspresi kecintaan rakyat dengan pemimpinnya, kawan dengan lawannya. Mereka menaruh harapan besar bahwa aktor kepemimpinan sekarang bisa diharapakan memenangkan ujian-ujian. Hak-hak dasar rakyat terpenuhi dan hukum berdiri tegak untuk siapa pun. Melalui haditsnya, Rasulullah pun mengajarkan do'a bagi para pemimpin, " Ya Allah, siapa pun yang memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu dia memberatkan/menyusahkan mereka, maka beratkan/ susahkan dia: dan barangsisapa memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu dia dia memperlakukan mereka dengan baik, maka perlakukan pulalah dia dengan baik." (HR. Ahmad dan Muslim)

Dalam negara demokrasi, do'a politik itu adalah keseimbangan dari pidato kenegaraan presiden. Di saat yang tepat ini, Gerindra telah mengambil kesempatan baik, mencuri perhatian publik. Bisa jadi ini akan menjadi saham dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta, di mana Gerindra pun memainkan kunci selain PDIP. Bahwa kepemimpinannya berhasil, maka sidang paripurna adalah panggungnya. Menginformasikan sejumlah kemajuan selama dua tahun selain langkah-langkah kebijakan strategis ke depan. Rakyat pun punya pandangan komprehensif karena adanya suara oposisi di legislatif di saat civil societyberdiam. Wallahu 'alam bishowwab.  

Penulis adalah Sekjen PP Pemuda PUI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun