Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan Panjang untuk Pulang

24 Januari 2021   06:05 Diperbarui: 24 Januari 2021   06:55 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.twitter.com (@usemay)

JALAN PANJANG UNTUK PULANG
(Bukan review buku)

Saya selalu menantikan Agustinus Wibowo bercerita tentang pengalamannya mengembara di negeri orang. Menjadi backpacker bebas yang dengan kemauan keras mau melintas batas-batas, dalam perjalanannya melihat langsung dunia yang luas.

Dan kita tak akan menemukan petualangan mas Agustin dari satu hotel berbintang menuju hotel berbintang lainnya. Atau dari sebuah tempat wisata eksentrik menuju destinasi yang eksotik. Namun kisahnya membuat kita membuka mata akan sisi lain dunia yang apa adanya. Sering menemukan kebersahajaan, dan tak jarang juga bertemu keegoisan. Semua menghambur dalam catatan panjang yang diabadikan di buku-bukunya yang lalu.

Mas Agustin membuka kesadaran, bahwa jauh dari rumah di satu sisi terkadang tidak menyenangkan. Namun demikian, ada banyak hal yang bisa kita rengkuh dan jadikan oleh-oleh, sebagai bekal untuk menemukan kebijaksanaan.

Apakah akhir dari sebuah perjalanan? Tentu saja adalah pulang. Kita tak mendamba akhir cerita akan seperti dalam bagian penutup kisah di buku Into the Wild tulisan Jon Krakauer. Karena pergi dan kembali adalah dua sinonim yang berkebalikan seperti siang dan malam, namun saling melengkapi.

Mungkin mas Agustin hendak mengakhiri perjalanannya kali ini. Itu sekedar tebakan tatkala membaca judul bukunya yang terbaru. Atau mungkin ia hendak istirahat sejenak, untuk meloncat dalam rihlah yang lebih jauh. Bisa jadi ia hanya sementara berlabuh.

Keluh kesahnya yang pernah dimuat bersambung di sebuah harian, lalu dibukukan, mungkin membuat banyak pembaca penasaran. Melihat langsung seperti apa kehidupan lembah Himalaya, bukan dari petuah bijak Dalai Lama. Merasakan suka duka jadi imigran di Afganistan, bukan dari berita di koran-koran.

Petualangan mas Agustin tak selalu menyenangkan. Kecopetan, kehilangan barang, penipuan, atau mungkin kehujanan, adalah pernak-pernik tak terpisahkan. Tapi itu tak membuatnya jera. Malah rasanya ia makin haus ingin bepergian melihat dunia.

Semuanya menjadi pengalaman berharga. Jauh lebih menyenangkan, daripada sekedar membayangkan keramahan atau ketidakbersahabatan dunia dari baris-baris paragraf di buku Herg, jurnal Marcopolo, kitab Ibnu Batuta, atau log Tom Pires.

Dibandingkan yang rajin membaca portal online dan menonton televisi, perspektif tentang dunia akan jauh berbeda, bagi mereka yang telah melanglang buana. Mereka yang mendeskripsikan sesuatu karena melihat, tentu lain dengan yang menjelaskan perkara sebab hanya mendengar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun