Tapi rasanya kurang bijak untuk terus menerus memperpanjang masalah ini. Semua sudah terjadi. Ya sudahlah, mau diapain lagi. Menyesal juga gak akan mengubah apapun. Ambil saja pelajaran baiknya. Agar tak jatuh di kesalahan yang sama.
Murji'ah sebagai pendukung sahabat Muawiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu'anhu sudah punah. Muktazilah juga setahu saya sudah gak ada lagi. Atau jika masih ada mungkin sangat kecil. Yang tersisa hanyalah paham Syiah dan Sunni itu sendiri.
Semua sudah berlalu. Tapi anggapan buruk terlanjur melekat. Bahwa ada pemahaman "teologi merupakan perpanjangan dari sengketa politik di masa awal perkembangan Islam. Dan dianggap sebagai jalan untuk memenangkan kubu tertentu."
Ini yang seharusnya perlu diluruskan dengan mencoba berpikir objektif. Apakah benar-benar demikian?
______
Kullu hizbin bimaa ladaihim farihuun... Tentu saja semua orang menganggap akidah mereka yg paling benar.
Syiah memiliki dalil sendiri kenapa menurut mereka paham Syiah adalah yg paling benar. Muktazilah, dan Murji'ah juga pasti memiliki argumentasi sendiri. Begitu juga dengan kita ahlussunah.
Jangankan ahlussunah, khawarij saja memiliki dalil atas setiap tindakan ekstrim mereka. Tapi disitulah, keumuman dalil yang multi tafsir akhirnya di belokkan sesuai kepentingan masing-masing.
Makanya sekali lagi, jangan memahami agama melalui egoisme dan emosi. Tapi harus berdasarkan kenyataan dan objektivitas. Sebab pada hakikatnya, kebenaran hanya ada satu.
Saya ingin menggarisbawahi kesimpulan dari penulis buku ini. Bahwa imam Asy'ari sebagai peletak pondasi madzab sendiri mengajak kita untuk lebih memahami kesejatian Islam. Bahwa dalil agama tidak semata-mata ada untuk mendukung suatu komunitas tertentu. Menurut saya, Islam tidak membela Mu'tazilah, Syiah, Murji'ah, atau siapalah... Tapi Islam membela siapa saja yang benar dari itu semua.
"Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari pada akhirnya menegaskan bahwa keragaman itu disatukan oleh Islam. Hal ini semakin membuktikan kejelian sang imam ketika membaca sejarah kemelut para sahabat di masa Islam awal. Dengan kata lain, iman menjadi cakrawala kesadaran yang mengambil bentuk dalam perilaku politik." (Halaman 27)