Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dahlan Iskan dan Buku "Ganti Hati"

1 April 2020   06:09 Diperbarui: 1 April 2020   07:21 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beliau mengakui sakitnya disebabkan banyak faktor. Salah satunya, selain awamnya pengetahuan tentang imunisasi saat masih bayi, juga disebabkan karena aktivitas yang luar biasa padat. Aktivitas yang nyaris tanpa henti sehingga melemahkan sistem pertahanan tubuh beliau sendiri.

Dulu, beliau ini biasa kerja mulai pagi hingga lewat dini hari. Tujuh hari seminggu. Tiga puluh hari sebulan. 360 hari setahun. Nyaris tanpa libur selama lima belas tahun. Usaha keras membesarkan Jawa Pos yang nyaris bangkrut. Hingga punya jaringan sebesar ini. Di seluruh Indonesia. Punya percetakan. Punya televisi. Dan lain-lain.

Sebenarnya tubuh punya sistem pertahanan tubuh yang alami. Lagi-lagi hebatnya anugerah Yang Kuasa. Tubuh bisa menyembuhkan diri sendiri. Itulah, kenapa dalam beberapa kasus penyakit menular yang belum ditemukan obatnya, seperti virus Corona atau SARS dulu itu, cara terbaik adalah karantina.

Biarkan sistem imun melawan virus tersebut secara alami. Yang perlu ditingkatkan adalah kekuatan badan. Badan dijaga tetap fit dengan beragam asupan gizi dan nutrisi. Oleh sebab itu, dulu saat awal teknologi transplantasi baru ditemukan, masalah besar yang dihadapi adalah bagaimana melawan sistem imun tubuh sendiri.

Organ baru yang didonorkan seperti hati, atau ginjal akan dianggap benda asing oleh tubuh. Dan tidak akan menjadi masalah jika tubuh menolak organ baru itu. Menyerangnya.

Tapi sekarang teknologi sudah kian maju. Setidaknya pengetahuan semacam itu menjawab rasa penasaran saya kenapa orang desa dulu bisa berumur panjang dan sehat sampai tua. Sedangkan orang kota, meskipun menjaga kesehatan dengan berbagai macam cara malah rentan sakit. 

Pikiran manusia memang sering terlalu was-was dan khawatir akan hal yang tak perlu. Apa yang diberikan oleh Yang Kuasa sudah yang terbaik dan terhebat.

Terakhir, tulisan ini saya tutup dengan sedikit kutipan dari halaman-halaman akhir buku tersebut. "Semua itu tidak ada artinya dibanding nilai kesehatan yang saya peroleh.

Tapi, juga sekaligus menyadarkan betapa mahalnya sehat itu. Imunisasi yang sekali suntik Rp 70.000 memang mahal. Tapi, apa artinya dibanding yang harus saya keluarkan ini?

Saya ingat kata-kata bijak di laboratorium Prodia: Waktu muda mati-matian bekerja sampai mengorbankan kesehatan untuk memperoleh kekayaan. Waktu tua menghabiskan kekayaan itu untuk membeli kembali kesehatannya -dan banyak yang gagal.

Kebetulan, saya tidak gagal. Dan lagi, saya kerja keras tidak semata-mata untuk mencari kekayaan. Di dunia ini banyak orang yang kerja keras tanpa bermaksud kerja keras. Atau sekadar hobi. Mainannya ya kerja keras itu. Seperti Pak Moh. Barmen, tokoh olahraga di Surabaya. Mainannya ya mengurus sepak bola itu.

Juga banyak sekali orang kerja keras yang karena didorong niat mulia -dan kekayaan hanya datang membuntutinya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun