Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Chairil Anwar dan Puisi

16 April 2021   16:32 Diperbarui: 16 April 2021   16:54 3598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu sekali, kalau ditanya siapa penyair terbaik? Jawaban saya adalah Chairil Anwar. Hampir semua puisinya saya kenal. Bahkan ada beberapa yang sampai hafal di luar kepala.

Nama itu adalah jauh sebelum saya mengenal Sutardji Calzoum Bahri, WS. Rendra, Taufiq Ismail, ataupun Sapardi Djoko Damono. Saya juga yakin, setidaknya semua sastrawan besar hari ini kenal betul karya Chairil Anwar.

Puisi-puisi nya begitu melegenda. Dan setidaknya, waktu mereka kecil mereka pernah terinspirasi dengan Chairil Anwar. Meskipun hari ini, secara kualitas ada banyak sekali puisi yang lebih bagus dari karya Chairil Anwar, namun karya-karya itu tidak lebih semacam pengejawantahan. Puisi-puisi itu, sedikit banyak adalah jasa Chairil Anwar dalam membuat pondasi.

"Sumbangan terbesar Chairil adalah keberhasilannya meyakinkan bahwa bahasa Indonesia, bahasa yang pada 1940-an masih amat muda itu, ternyata merupakan bahasa yang menyimpan tenaga besar. Ia melahirkan sajak-sajak yang memperkaya bahasa Indonesia." (Majalah Tempo, 15-21 Agustus 2016)

Namun pernahkah disadari, bahwa setenar apapun Chairil Anwar, patungnya ada di banyak tempat, foto dengan pose merokoknya yang terkenal itu begitu ditiru orang jamak, kok belum ada filmnya?

Bila banyak tokoh-tokoh segera dibuatkan kisahnya dalam buku, atau bahkan filmnya, tapi tidak dengan Chairil Anwar. Kehidupannya mungkin bukanlah nasihat dan tontonan segala usia. Sementara film adalah konsumsi semua umur.

Tapi Chairil Anwar bukanlah William Shakespeare. Bukan juga Kahlil Gibran. Ada masanya, saat lebih baik kita hanya membaca dan mengagumi karya seseorang, tanpa sedikitpun meneladani kehidupannya.

Dalam pengakuan Goenawan Mohamad, Chairil Anwar adalah anak muda yang sak karepe dewe. ''Ia, dalam umur 20-an, memang biasa bicara angkuh, cerdas, cekatan, kocak, dan kadang menohok." Namun karya-karyanya begitu memiliki citarasa. Untuk ukuran tahun itu. Meskipun ada Amir Hamzah. Tapi Chairil Anwar memaknai bahasa Indonesia yang masih hijau dengan caranya sendiri. "Merpati itu mungkin capek kemudian dan jatuh. Dan tahu, bahwa 'ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah', seperti ditulisnya di ujung sebuah sajak yang mengharukan menjelang ia meninggal."

Dan dalam majalah sastra Horison, Chairil Anwar digambarkan sebagai pemuda yang berani melawan arus. Dan berbuat nekat untuk menggapai kemauannya. "Yang menarik dari Chairil Anwar adalah vitalitasnya sebagai penyair, semangat kepenyairannya yang tak mengenal politik 'dagang sapi'. Ia mau berkorban dan menderita demi cita-cita kepenyairannya yang menyatu dalam dirinya."

Seseorang yang dengan berani, untuk ukuran hari itu, memasukkan kata serapah dalam sajaknya. Mencampurkan bahasa daerah dalam karyanya. Suatu hal yang lumrah ditiru penyair muda hari ini. Dan tabu untuk ukuran zaman kemerdekaan. Dia digambarkan plagiat. "Sajak 'Krawang-Bekasi' yang senantiasa dibacakand dengan haru itu dianggap meniru 'The Young Dead Soldiers' karya penyair Amerika, Archibald MacLeish. Sedangkan kritikus sastra yang juga kawan baiknya, H.B. Jassin, mengakui bahwa Chairil mencuri sajak penyair Cina, Hsu Chih-mo, yang diterjemahkan menjadi 'Datang Dara Hilang Dara'." Demikian menurut majalah Tempo.

Dan Chairil Anwar berhasil. Meramu bahasa sebagai pemersatu. Yang merupakan tugas mulia bahasa itu sendiri. Seperti yang diutarakan oleh Joko Pinurbo. "Sampai hari ini Chairil adalah sebuah inspirasi. Inspirasi tentang bagaimana para pengarang menciptakan karakter bahasa yang mampu menembus dominasi bahasa pejabat, bahasa politikus, bahasa pengacara, dan bahasa preman."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun