Mohon tunggu...
Kamelia Desi
Kamelia Desi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Semangat!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implikasi Kekerasan pada Anak terhadap Pelaku dan Korban Bullying

20 Januari 2021   07:10 Diperbarui: 20 Januari 2021   07:39 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keempat, peniruan sesaat yaitu tingkah laku yang ditiru hanya sesuai untuk situasi tertentu saja, contohnya melakukan kekerasan saat keadaan terdesak. Kelima, peniruan berkelanjutan yaitu peniruan dari orang lain dan dijadikan sebagai identitas diri, contohnya korban kekerasan terhadap anak yang setelah dewasa menjadi seorang pelaku bullying.

Kekerasan Pada Anak Terhadap Korban Bullying 

            Masa anak-anak merupakan waktu yang penting dalam pertumbuhan serta pembentukan kepribadian anak, terutama di usia 6 tahun pertama (Lidia, 2020). Mengingat hal tersebut, anak-anak seharusnya mendapatkan perlakuan yang baik dan dijauhkan dari segala jenis kekerasan, karena dampak yang dirasakan oleh anak-anak ketika mengalami kekerasan dapat mempengaruhi kondisi fisik maupun psikisnya hingga dewasa.

            Dampak dari kekerasan pada anak ini sangat bervariasi, tergantung pada tahap tumbuh kembang anak tersebut. WHO menggambarkan dampak dari kekerasan pada anak sebagai berikut:

Sumber: Wulansari, S., 2007
Sumber: Wulansari, S., 2007

Sedangkan, Barbara Coloroso (Yayasan Sejiwa, 2008) menyebutkan mengenai ciri-ciri korban bullying, yaitu anak baru di lingkungan itu, anak termuda atau paling kecil di sekolah, anak yang pernah mengalami trauma sehingga sering menghindar karena rasa takut, anak penurut karena cemas, kurang percaya diri, atau anak yang melakukan sesuatu karena takut dibenci atau ingin menyenangkan, anak yang perilakunya dianggap mengganggu orang lain, anak yang tidak mau berkelahi atau suka mengalah, anak yang pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau menarik perhatian orang lain, anak yang paling miskin atau paling kaya, anak yang ras atau etnisnya dipandang rendah, anak yang orientasi gender atau seksualnya dipandang rendah, anak yang agamanya dipandang rendah, anak yang cerdas, berbakat, memiliki kelebihan atau beda dari yang lain, anak yang merdeka atau liberal, tidak memedulikan status sosial, dan tidak berkompromi dengan norma-norma, anak yang siap mendemonstrasikan emosinya setiap waktu, anak yang gemuk atau kurus, pendek atau jangkung, anak yang memakai kawat gigi atau kacamata, anak yang berjerawat atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya, anak yang memiliki kecacatan fisik atau keterbelakangan mental, dan anak yang berada di tempat yang keliru pada saat yang salah (bernasib buruk).

            Korban bullying sendiri menurut Coloroso (Yayasan Sejiwa, 2008) adalah pihak yang tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik atau mental ketika mendapatkan perlakuan agresif dan manipulatif secara berulang-ulang. Dilihat dari gambar diatas anak-anak korban kekerasan memiliki ciri fisik serta mental yang lemah yang mana anak yang memiliki trauma, gangguan kecemasan, suka mengalah, pemalu, menyembunyikan perasaanya, cacat fisik, sampai keterbelakangan mental merupakan sasaran empuk bagi pelaku bullying. Dengan memiliki bekas luka fisik yang terlihat secara kasat mata karena kekerasan di masa lampau yang dialaminya atau gangguan perilaku yang diidap karena trauma akan kekerasan tersebut, bisa membuat seseorang dianggap aneh dan menjadi korban perilaku bullying.

            Sebuah studi yang membandingkan efek jangka panjang dari segi kesehatan mental akibat bullying pada masa sekolah dan efek kekerasan pada anak yang dilakukan oleh orang dewasa, yang dilakukan oleh beberapa peneliti dari University of Warwick dan Duke Medical Centre, di Inggris (Sean, I., 2019) menunjukkan bahwa anak-anak korban bully berisiko lima kali lipat menderita anxiety disorder daripada anak-anak korban kekerasan terhadap anak pada studi untuk kelompok Amerika Serikat. Sedangkan pada studi kelompok Inggris anak-anak korban bully lebih rentan menderita depresi dan usaha menyakiti diri sendiri dibandingkan kelompok anak yang mengalami kekerasan rumah tangga.

            Hasil dari kedua kelompok studi membuktikan, anak-anak yang masa kecilnya menjadi korban kekerasan orangtua dan juga menjadi target bullying di sekolahnya menunjukkan peningkatan risiko menderita gangguan mental, anxiety disorder, dan depresi jika dibandingkan dengan mereka yang tidak di-bully atau dianiaya. Pada anak-anak Inggris, khususnya, terdapat risiko menyakiti diri sendiri.

            Dalam mengatasi masalah kekerasan terhadap anak maupun bullying diperlukan kesadaran dan kerja sama dari semua pihak, baik pemerintah, keluarga, dan lingkungan sekitar. Perlunya sosialisasi mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di semua kalangan masyarakat agar bisa mencegah terjadinya kasus kekerasan pada anak serta memberikan sanksi yang tegas saat terjadi pelanggaran. Kesadaran akan tanggung jawab terhadap anak pun perlu dikembangkan dalam jiwa setiap individu, agar bisa melindungi kesehatan fisik dan mental generasi yang akan datang. Seharusnya, kita bisa membantunya dan/ melaporkannya bila menjadi saksi kekerasan terhadap anak. Upaya-upaya tersebut dapat juga dilakukan sebagai cara untuk mencegah semakin bertambahnya jumlah kasus bullying di masa mendatang.

PENUTUP

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun