Mohon tunggu...
Kamalia Purbani
Kamalia Purbani Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Pemerintahan, Lingkungan Hidup dan Pemberdayaan Perempuan

Purnabakti PNS Pemerintah Kota Bandung. Terakhir menjabat Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan. Pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Pemberdayaan Perempuan, Kepala Kantor Litbang, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya, Kepala Bappeda, Inspektorat, Staf Ahli Walikota Bidang Teknologi Informasi, Asisten Daerah Pemerintahan dan Kesra

Selanjutnya

Tutup

Diary

Sebuah Cermin 2022 dan Semangat 2023

2 Januari 2023   11:44 Diperbarui: 2 Januari 2023   11:47 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Sejak minggu terakhir tahun 2022, suhu di Bandung terasa lebih dingin dari biasanya. Saya lebih sering memakai jaket dan kaus kaki selama di rumah. Mengawali hari pertama Tahun 2023 ini, udara masih tetap dingin dan suasana sekitar rumahku lebih sepi daripada hari-hari biasa. Tidak begitu banyak kendaraan yang melewati depan rumahku. Jalan di depan rumahku adalah jalan pintas yang menghubungkan satu wilayah ke wilayah lainnya. Tidak jarang pada saat hari kerja, di pagi hari kemacetan sudah bisa ditemukan saat baru buka pintu gerbang pagar.

Walaupun hari ini cukup dingin dan enaknya tetap berselimut di tempat tidur, saya sedikit "memaksa" diri sendiri untuk menulis sesuatu sebagai refleksi tahun yang sudah berlalu dan harapan pada tahun 2023, sebagai bahan bagi saya mengevaluasi perjalanan hidup. Saya tidak menyebutnya resolusi, karena saya berfikir bahwa kata resolusi agak sedikit mengintimidasi bagi diriku sendiri.

Bagiku, 2022 merupakan tahun yang sangat penting dan sulit dilupakan. Di tahun itu, saya kehilangan ibu tercinta pada pertengahan tahun. Kehilangan seorang ibu merupakan salah satu nestapa  terbesarku dalam hidup, setelah sebelumnya sayapun sempat merasa tersesat dan hilang arah saat  ayah berpulang pada tahun 1999 dan nenek pada tahun 2006. Mereka adalah orang-orang terdekat yang sangat memberi pengaruh besar dalam kehidupanku. 

Saya masih berusaha tegar saat mendampingi jasad beliau di kamar jenazah, bersama dalam ambulans menuju rumah, ikut memandikan, menyolatkan dan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir. Namun beberapa hari setelahnya, rasa kesedihan dan kehilangan semakin intens. Berbagai emosi campur aduk. Ada rasa sesal, sedih, rindu dan hampa.  Saya baru merasakan betapa besar pengaruh ibuku terhadap seluruh sendi lehidupanku. Beliau mengajarkan saya banyak hal bagai sekolah kehidupan. Walaupun semasa hidup hubungan kami tidak selalu mesra (karena saya cenderung banyak menentang sikapnya yang terkesan otoriter), namun di satu sisi saya menyadari bahwa sikapnya dan ajaran disiplinnya sangat memiliki andil dalam berbagai keberhasilan pencapaian hidup saya

Saya sangat bersyukur karena saya masih sempat melewatkan malam pergantian tahun 2021 ke 2022 bersama beliau. Saya berhasil memaksa beliau untuk pergi ke rumah adik saya di luar kota, menghabiskan malam pergantian tahun. Setahun terakhir sebelum kepergiannya, beliau amat jarang bersedia diajak pergi ke luar kota dengan berbagai alasan. Beliau lebih suka tinggal di rumah, menikmati rumah yang beliau banggakan, karena menurutnya membeli rumah itu merupakan salah satu pencapaiannya, karena dicicil dari gajinya sebagai PNS selama 20 tahun. Kami pernah memiliki rumah yang lain, namun karena satu dan lain hal rumah tersebut terpaksa harus dijual.

Sekitar sepekan sebelum kepergiannya, ada satu peristiwa yang mengagetkan sekaligus membahagiakan. Hal itu terjadi di ruang ICU, pada saat beliau belum dipasang ventilator sehingga beliau masih bisa berkomunikasi dengan saya. Beliau mengatakan dalam bahasa Sunda: "Teteh (panggilan kepada saya), tolong mendekat. Mamah ingin mengatakan sesuatu, khawatir Mamah nggak sempat lagi mengatakannya". Saya turuti keinginannya dengan mendekatkan wajahku ke wajahnya. Beliau mengatakan "I love you" . Sejenak saya terpana, karena beliau tidak pernah berbahasa Inggris kepada saya, bahkan kami lebih sering berbahasa Sunda halus saat berkomunikasi.

Namun rasa itu tiba-tiba berganti menjadi rasa takut dan resah. Saya khawatir bahwa kalimat itu merupakan kalimat terakhirnya dan sebuah isyarat bahwa beliau akan pergi meninggalkanku. Saya tidak mau menerima kenyataan itu. Saya terus berdo'a dalam setiap sholat memohon kepada yang Maha Kuasa agar menyembuhkan ibu saya dan memanjangkan usianya. Saya berjanji kepadaNya, akan lebih mengurus dan memberi perhatian kepadanya. Namun rupaya Allah SWT memilihkan jalan terbaik baginya. Beliau menghembuskan nafas terakhir dengan tenang dan wajah yang tampak damai setelah sepuluh hari berada di ICU.

Selalu ada hikmah dalam setiap peristiwa. Meninggalnya ibu tercinta, makin memperkuat ikatan persaudaraan diantara kami, saudara sekandung. Kami mulai menjadwalkan pertemuan-pertemuan keluarga secara rutin dan menciptakan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk lebih memperkokoh rasa persaudaraan dan kekompakan kami.

Tahun 2022 juga merupakan tahun yang cukup sulit bagiku. Sebagai seorang ibu, kita tidak mungkin melepaskan diri dari masalah yang dihadapi oleh anak, walaupun anak kita sudah berkeluarga. Hal ini membuktikan sebuah peribahasa, bahwa kasih sayang seorang ibu itu sepanjang masa. Masa-masa yang sulit bagi saya adalah saat saya dihadapkan pada satu pilihan, mendampingi anak saya atau mendampingi ibu yang sama-sama membutuhkan perhatian.

Tahun 2022 ini juga merupakan tahun adaptasi. Karena berbagai pertimbangan, saya mulai menyesuaikan diri dengan tidak memiliki Asisten Rumah Tangga (ART) yang menginap, dan menggantinya dengan ART yang pulang dan jadwalnya tidak setiap hari. Sejak tidak lagi memiliki supir paska pensiun dan anak mulai padat aktifitas (kuliah off line), suka tidak suka saya harus mulai lagi membiasakan diri menyetir mobil sendiri. Sayapun mulai membiasakan melakukan sendiri berbagai hal yang sebelumnya dibantu. Karena kondisi syaraf kejepit yang saya alami, saya pun disarankan dokter untuk berenang sebagai salah satu terapi. Sudah hampir dua puluh tahun saya tidak pernah berenang, dan sekarang saya harus mulai melakukannya lagi.

Saya berproses melakukan berbagai perubahan gaya hidup ini, dan  ternyata saya bisa melakukannya walaupun sempat mengalami zona tidak nyaman. Hal itu membuktikan kebenaran sebuah peribahasa lama yang mengatakan "Alah bisa karena biasa".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun