Mohon tunggu...
Dhimas Kaliwattu
Dhimas Kaliwattu Mohon Tunggu... -

indonesia jaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Merayakan Hari Ibu tanpa Westernisasi dan Deviasi Akut

15 Desember 2016   12:03 Diperbarui: 22 Desember 2016   15:02 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hari Ibu Nasional, Hari perjuangan Wanita Indonesia

Di bawah Dekrit Presiden Soekarno Nomer 316 tahun 1959, pada tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia. Tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu Nasional untuk merayakan semangat wanita Indonesia dalam konteks berbangsa dan bernegara. Dipilihnya tanggal tersebut karena merupakan pertama kalinya Kongres Perempuan Indonesia dilaksanakan, yakni di Jogyakarta, 22-25 desember 1928.

Dalam buku Sarinah, disebutkan bahwa persoalan wanita sebenarnya adalah persoalan laki-laki. Selama ini, kaum laki-laki Indonesia belum sadar bahwa masyarakat adil makmur tidak dapat terlaksana tanpa wanita. Selanjutnya, dalam salah satu pidatonya di tahun 1960-an Presiden Soekarno menyerukan agar wanita Indonesia harus sanggup menjadi pemimpin-pemimpin wanita yang ikut serta dalam gerakan pembangunan semesta berencana, atau dalam bahasa politik Bung Karno disebut dengan Manipol USDEK.

Momentum Hari Ibu Nasional bahkan ditanggapi lebih kritis oleh Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani. Bagi mereka Hari Ibu menjadi pelontar perjuangan yang lebih kuat untuk melengkapi perjuangan Kartini yang telah dikenal sebagai simbol perjuangan emansipasi gender. Mereka memandang, emansipasi wanita harus dihubungkan dengan perjuangan melawan imperialisme atau dalam bahasa politik Gerwani “gerakan wanita Indonesia harus meninggalkan segala jejek bekas gerakan kaum nyonya besar” (Harian Rakyat, 1961). Sebagai gerakan wanita yang progresif dan revolusioner, Gerwani menjadi front terdepan yang berdiri dalam garis perjuangan ini. 

Hal pertama dari kerja organisasi mereka adalah memberantas buta aksara terhadap wanita yang tinggal di pelosok pedalaman, menentang poligami yang dilakukan (maaf para kiyai), serta memberikan pendidikan tani kepada para ibu-ibu yang bekerja di sawah.

Hari Ibu di Indonesia sebenarnya dibentuk sebagai momentum kebangsaan yang mengangkat kisah perempuan atau wanita Indonesia dalam membela kepentingan nasional. Ini juga merupakan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada mereka –para srikandi Indonesia yang telah berjuang seperti Dewi Sartika, Martha Tiahahu, Cut Mutia, Cut Nyak Dien, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said, dan lainnya yang memiliki cerita sendiri namun tak tercatat dalam buku sejarah. Selain memperingati/mengenang para pahlawan wanita yang telah berjuang, refleksi bersama ditujukan juga untuk wanita Indonesia yang tengah berjuang.

Deskripsi singkat yang ingin disampaikan dari hal ini adalah kedudukan wanita memiliki peran yang begitu besar dalam perjuangan nasional. Inilah negeri gotong royong yang ingin digambarkan Soekarno, negeri yang setiap jiwa manusianya memiliki peran penting terhadap tanah airnya.

Deviasi Akut
Lepas dari spirit pemerintahan Presiden Soekarno, pergerakan wanita Indonesia mengalami degradasi komunal. Bahkan organisasi paling radikal, Gerwani sendiri disubversifkan sebagai organisasi pelacuran yang sangat rendah, dan eskalasi politik seksual semakin kencang dihembuskan rezim setelahnya. Hal tersebut berujung tak hanya pada penghilangan spirit organisasinya, namun juga pada jiwa-jiwa mereka (lihat: Penghancuran Gerakan Perempuan, 2010).

Sejalan dengan itu, perayaan tanggal 22 Desember memiliki interpretasi sendiri. Perayaan Hari Ibu kini bermakna sama dengan harinya ibu-ibu atau emak-emak, di mana diartikan sebagai momentum ungkapan rasa syukur seorang anak pada ibu yang telah membesarkan dan merawatnya.

Bergesernya makna tersebut tak lepas dari westernisasi yang kemudian menjadi deviasi akut terhadap generasi selanjutnya yang terus terpupuk hingga sekarang. Kini tak berbeda antara perayaan Mother’s Day atau Internasional Women’s Day yang dirayakan barat dengan Hari Ibu yang dirayakan di Indonesia (mungkin hanya berbeda bulan). Memang tidak sepenuhnya salah, tapi secara tidak langsung deviasi dalam pemaknaan ini telah menurunkan drajat kita dari bangsa konseptor menjadi bangsa yang mengekor.

Mother’s day yang dirayakan pada minggu kedua di Bulan Mei setiap tahunnya itu berawal hanya dari kisah seorang anak laki-laki di Virginia yang memperingati kematian ibundanya. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1908 itu sebelumnya jarang terjadi di Amerika. Singkatnya sebuah proposal politik masuk ke gedung putih, dan membuat peristiwa ini Go Internasional yang kemudian dikuti sebagai perayaan rutin tahunan oleh seluruh bangsa-bangsa di hampir sebagian belahan dunia. Kalau kita coba berpikir ulang, filosofi dan sejarah peringatan hari ibu yang lahir di Indonesia hakikatnya jauh lebih tinggi dari peringatan hari ibu yang lahir dari barat.

Hal ini juga kurang sesuai dengan kebudayaan timur yang mengajarkan bahwa memuliakan ibu harus dilakukan setiap hari sepanjang hayat. Sebagai penghormatan, kita harus memberikan cinta kasih pada ibu setiap saat. Bahkan agama Islam mengajarkan untuk mendoakan orang tuanya yang sudah tiada setidaknya lima kali dalam sehari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun