Mohon tunggu...
Maria Kalista
Maria Kalista Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Amatir di Dunia Kepenulisan

Lahir dan tumbuh dewasa di Bekasi. Kini saya adalah seorang karyawan di perusahaan swasta dan menulis untuk menyalurkan kepenatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Celah di Langit-langit Rumah

28 Oktober 2020   01:04 Diperbarui: 28 Oktober 2020   01:09 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari itu hujan turun sangat deras. Angin kencang memporakporandakan kedai-kedai di pinggir jalan. Aku mengkhawatirkan rumahku yang bocor. Meski setiap pagi aku sudah meletakkan sebuah ember di bawah lubang langit-langit rumahku, aku tetap merasa was-was.

"Di sana hujan enggak, dek?" tanyaku melalui pesan singkat kepada adik perempuanku yang jam kerjanya tidak seperti karyawan kantoran. "Kamu udah berangkat?"

"Hujan mbak. Aku udah berangkat," jawab adikku. "Nanti kalau reda aku pulang sebentar deh aku lihatin banjir enggak."

"Oke," balasku singkat.

Waktu berlalu, ketika beberapa jam kemudian hujan telah berhenti, adikku tidak memberikan aku kabar lanjutan. 

'Mungkin kedainya ramai,' pikirku dalam hati. 'Toh aku udah meletakkan ember di bawah lubang itu.'

Meski begitu perasaanku tetap tidak tenang. Aku memutuskan untuk tidak lembur karena memikirkan berbagai kemungkinan salah satunya bahwa langit-langit itu bisa saja ambruk karena lapuk.

"Dek?" panggilku dari pintu setibanya aku di rumah. Aku melihat sepeda motornya terparkir di halaman namun tidak menemukan seorang pun di rumah itu. Waktu itu, jam tangan yang aku kenakan menunjukkan waktu pukul 21.20. Rumah itu tidak terkunci.

''Kemana dia?" gumamku sambil mendorong pintu agar aku bisa masuk. Aku kemudian langsung melangkahkan kakiku ke dapur dengan langit-langit yang telah berlubang karena lapuk. Hujan membuat air berjatuhan ke dalam ember banyak sekali. Aku melongok ember itu kemudian terkejut ketika mendapati air yang tertampung tampak berwarna kemerahan.

"Mbak," samar suara adikku seolah dibawa oleh angin.  Aku menoleh, mencoba mencari sumber suara namun nihil.

"Mbak," panggil suara yang sama, kali ini suara itu seolah berasal dari lubang di langit-langit rumah itu. Aku yang sengaja berdiri tepat di bawah lubang itu, menengadah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun