Mohon tunggu...
Arman Kalean
Arman Kalean Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

Nahdliyin Marhaenis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kesalehan Sosial Manusia Perahu Pos

2 Juni 2019   03:16 Diperbarui: 3 April 2020   22:16 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jembatan yang menghubungkan kedua pulau dari selat Rosenberg[3] menjadi hal paling vital saat ini, jembatan Usdek menjadi simbol perbatasan eksplisit sekaligus implisit sebelum dan sesudah pemekaran Tual dan Langgur sebagai dua wilayah administrasi yang berbeda. 

Sebelum dibangunnya jembatan, aktivitas sosial, baik ekonomi, politik, pendidikan, atau urusan lainnya, masyarakat menggunakan jasa transportasi berupa Perahu-Pos[4]. Sejenis sampan yang diberi layar, tanpa penyeimbang di kiri dan kanan badan perahu, di beberapa daerah Maluku dan Papua disebut Kole-kole. Terdapat jenis perahu lain yakni Perahu-Bot[5], sepintas terlihat seperti kapal angkut kecil di era Yunani Kuno, namun bentang layarnya tidak dari tengah seperti bentangan petaka, tetapi model layarnya mengikuti bentangan Pinisi dengan segitiga yang menjulang tinggi. Sewaktu SMP, perahu-bot masih sering saya lihat digunakan oleh beberapa penduduk dari Pulau Kur, salah satu cakupan wilayah kota Tual. Penduduk dari pulau Kur yang datang menjual hasil bumi mereka, termasuk panganan khas lokal di pulau itu yakni Lut-lutak[6]. 

Dibutuhkan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu untuk sampai ke Tual, cepat dan lambatnya perahu-bot tergantung pada kondisi alam. Dalam perjalanan panjang dan melelahkan itu, perahu-bot juga dilengkapi dengan tungku untuk memasak bekal persediaan yang dibawa. Terkadang, sebelum sampai di Tual, hasil bumi yang hendak dijual sudah lenyap setengah akibat lamanya perjalanan. 

Bermodalkan navigator alami dan peralatan biji mata pada letak bintang, para pelayar ini tetap menikmati perjalanan mereka, di tengah laut biru di antara mereka tetap melaksanakan sholat fardhu. Bahkan dzikir menjadi wajib saat kapal-kapal Yunani Kuno milik mereka mulai berkejaran dengan ganasnya ombak Tanjung Burang, mati di depan mata atau hidup lebih lama lagi sudah tentu diatur oleh Allah SWT, begitulah kira-kira keyakinan mereka.

Sementara itu, perahu-bot dengan model yang sama juga saya lihat ketika jembatan yang menghubungkan desa Dian Darat dan desa Dian Pulau belum terhubung, bedanya di saat itu penduduk di sana selain menggunakan layar, juga telah menggunakan motor ketinting[7] sebagai pengganti tenaga angin. 

Dermaga berukuran kecil di desa Debut dan desa Tetoat digunakan sebagai rute aktif perahu-bot masih dengan layar, para petani dan nelayan yang pada saat itu belum terbiasa dengan tengkulak, membawa sendiri hasil bumi dan hasil laut mereka menyebrangi teluk Sorbay[8] ke Debut, selanjutnya melewati selat Rosenberg untuk ke Tual, dimana pusat keramaian permanen ada di sana.

Karena kebanyakan dari mereka menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, maka hasil yang dapat mereka andalkan untuk dijual di pasar adalah hasil bumi dan ikan yang sudah dikeringkan. Perjalanan yang cukup lama, baik dari sebelah Timur ataupun Barat Kei Kecil membutuhkan energi yang tidak sedikit pula. 

Besar keyakinan saya, pada masa itu banyak orang yang berprofesi sebagai petani dan nelayan, sehingga kehidupan komunal masih sangat terasa sekali, amat sangat wajar jika mereka begitu menikmati perjalanan mereka, saling membagi bekal, dan saling curhat tentang akan seperti apa nanti masa depan anak-anaknya kelak. Mungkin saja di tengah perjalanan ketika masuk waktu sholat fardhu, yang Bergama Islam di antara mereka akan berhenti sejenak untuk melaksanakan kewajiban seorang muslim. 

Sesampainya mereka di Watdek, salah satu lokasi di pulau Kei Kecil yang berdekatan dengan pulau Dullah, mereka lalu menyeberang menggunakan jasa perahu-pos menuju titik terdekat yakni Kiom Bawah. 

Dari Kiom Bawah ini, mereka terus mengayunkan langkah kaki menuju ke pasar Tual. Tidak sedikit pula dari mereka yang datang ke Tual dengan persiapan seadanya, mungkin karena kondisi atau entahlah, di antara mereka ada yang menggunakan jasa perahu-pos tanpa membayar di perjalanan penyebrangan ke Tual, nanti setelah kembali baru diselesaikan urusan itu dengan para pendayung perahu-pos.

Di antara sekian pendayung perahu-pos, ada yang memahami benar beratnya perjalanan yang memakan waktu dan tenaga cukup lama tersebut, salah satunya adalah Tete Tobelo[9]. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun