Mohon tunggu...
agustinus dwi winarno
agustinus dwi winarno Mohon Tunggu... -

aku hanya manusia biasa, dan tak lebih...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Itu Mahal

2 Juni 2010   15:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:47 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini, di beberapa daerah di Indonesia disibukkan dengan agenda pilkada provinsi, kabupaten, maupun walikota. Seluruh perhatian, pikiran, dan tenaga dikerahkan untuk mensukseskannya. Partai politik mencari calon yang akan diusung. Biasanya mereka tidak mau repot, dan cenderung menempuh jalan pintas dengan mengambil calon dari lingkungan keluarga petahana (incumbent), yang dianggap sudah mempunyai “nilai jual” karena sudah dikenal oleh masyarakat luas. Atau, bisa juga mengambil sosok yang dianggap memiliki popularitas meski tidak memiliki kualitas. Apalagi, sekarang tidak sedikit calon yang rela membayar banyak untuk bisa mendapat dukungan dari sebuah partai politik. Seseorang yang ingin menjadi penguasa bisa membeli kesetiaan dan dukungan politik dari pendukungnya, sehingga muncul ungkapan ‘Siapa yang mampu membeli kapal, dialah yang bisa berlayar.’

Megawati Soekarnoputeri dalam pidato pembukaan Kongres III PDI-P di Bali, Senin (5/4) juga mengatakan hal yang sama, bahwa partai politik sudah berubah fungsi menjadi “penjual tiket kekuasaan”, yang berakibat rusaknya demokrasi, dimana pemimpin atau politisi yang terpilih harus melayani pihak yang memberi uang atau mereka yang membantunya sehingga bisa terpilih. Tidak sedikit partai politik di Indonesia yang membuat tarif bagi mereka yang ingin menggunakan partainya sebagai kendaraan untuk maju dalam pemilu, dengan alasan uang itu untuk keperluan kampanye dan perkembangan partai. Beberapa waktu lalu di kabupaten Jember ada seorang bakal calon bupati yang mengaku bahwa dirinya diminta oleh sebuah partai politik untuk menyerahkan uang sebesar satu milyar agar bisa mendapat dukungan dari partai yang bersangkutan. Persoalan menjadi ramai ketika bakal calon tidak berhasil mendapat dukungan partai, padahal dia sudah menyerahkan uang sebesar 600 juta. Dalam pilkada baik calon maupun partai politik yang mengusungnya memang membutuhkan dana untuk berkampanye dan lainnya sesuai dengan UU 12 Tahun 2008 tentang Parpol, namun ini tidak menutup kemungkinan “mahar politik” yang dibayarkan si calon kepada sebuah partai sama dengan kasus suap-menyuap.

Para pemimpin partai politik cenderung mengutamakan orang-orang yang punya uang untuk dicalonkan menjadi pemimpin. Kualitas orang cenderung menjadi nomor dua dalam menentukan calon yang diusung dalam sebuah perhelatan politik, seperti pilkada bupati/wali kota, gubernur, bahkan pemilihan presiden. Dalam hal ini, Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Achmad Mubarok juga mengakui bahwa orang yang berasal dari luar partai bisa menerima dukungan dari partainya bila dia mempunyai uang untuk biaya sosialisasi atau biaya kampanye, di samping mempunyai reputasi yang baik (Kompas, 19/4).

Model pencalonan dalam pencalonan kepala daerah yang dilakukan oleh partai politik yang mengutamakan kader yang berduit ini menunjukkan buruknya sistem pengaderan dan perekrutan calon kepala daerah. Keadaan ini diperparah dengan kecenderungan partai politik yang lebih memilih mengusung keluarga incumbent, atau tukar posisi dari semula kepala daerah menjadi calon wakil kepala daerah.

Dalam Kompas, Senin (19/4), dikupas fenomena pilkada yang diwarnai para calon dari lingkungan keluarga kepala daerah petahana. Isteri menantang suami; adik menantang kakak; ibu menantang anak (selengkapnya lihat daftar bursa kandidat kepala daerah di Kompas 19 April 2010). Alasan mereka maju pilkada pun bermacam-macam, mulai ingin meneruskan program-program yang sudah berhasil dilakukan oleh suaminya ketika menjabat saat periode sebelumnya, memenuhi aspirasi masyarakat yang meminta dirinya untuk maju meski harus bersaing dengan suami atau anaknya sendiri, sampai pembalasan dendam si isteri kepada suami yang pernah menganiaya atau tidak memperhatikannya. Seolah-olah pilkada menjadi pesta atau acara keluarga, atau menjalankan roda pemerintahan sama seperti menjalankan perusahaan keluarga saja, meski mereka maju melalui mekanisme yang berlaku.

Setelah mendapat dukungan dari partai, calon kepala daerah masih harus bekerja keras untukmencari dukungan dengan sering tampil di hadapan masyarakat yang akan memilihnya. Mereka harus berlomba-lomba menampilkan diri bak seorang pahlawan pembela kebenaran, sang penyelamat bagi mereka yang sedang ditimpa kemalangan berupa banjir, tanah longsor, mengadakan penjualan kebutuhan pokok berharga murah atau menggelar gerak jalan berhadiah sepeda motor. Sebagian calon juga tidak segan-segan mentraktir makan dan minum warga yang ditemui di tempat umum dan lain sebagainya. Mereka sepertinya hanya sibuk hanya ketika menjelang pemilu. Setelah terpilih banyak dari mereka “blekak-blekok hitut wae teu modot, blekak-blekok riweun wae teu puguh” (sibuk bolak-balik, kentut melulu, tapi tidak membuktikan hasilnya). Mereka yang terpilih hanya bisa mengobral janji, rapat, plesir dengan alasan studi banding tanpa menghasilkan apa-apa, dan mengumpulkan harta agar modal kembali. Tidak jarang juga calon kepala daerah bersama parta pengusung membayar lembaga-lembaga survei untuk mengumpulkan data mengenai sosok calon yang menjadi pilihan masyarakat dengan tujuan untuk memperkenalkan dan mempopulerkan si calon.

Fenomena pemilu kepala daerah di Indonesia ini mengindikasikan adanya krisis kaderisasi. Partai-partai belum mampu menyiapkan kader-kadernya untuk menduduki jabatan publik. Tidak adanya regenerasi, kaderisasi, dan renovasi dalam sistem dan struktur kepartaian. Yang ada hanya kader-kader jenggot atau pemimpin-pemimpin karbitan yang kurang berbobot, karena tidak melalui seleksi alamiah yang wajar di pentas keorganisasian.

Harus disadari oleh partai-partai politik dan para bakal calon kepala daerah, setelah beberapa kali pemilu, rakyat saat ini semakin realistis dan tidak menaruh harapan terlalu tinggi pada partai politik. Rakyat juga sudah bosan, jenuh dengan gembar-gembor para calon wakil rakyat mengenai pembaharuan, perubahan, dan peningkatan kesejahteraan, dan lain sebagainya. Pencalonan kepala daerah sebagai pengubah nasib atau pahlawan yang ingin memperjuangkan nasib wong cilik sudah tidak digubris.

Pembaharuan mutlak diperlukan. Banyak yang harus dibenahi untuk menghilangkan budaya politik yang tak elok ini.Partai politik harus segera membuat sekolah kader untuk menciptakan sosok pemimpin yang jujur, cakap, kapabel, bijaksana, demokratik, patriotik dan loyal kepada bangsa, selain memperbaiki sistem perekrutan yang masih mengutamakan calon yang populer dan mampunyai kemampuan finansial untuk biaya kampanye. Semua warga negara harus diberi kesempatan atau peluang sama sekali untuk berkembang menjadi pemimpin wahid dan mengabdi kepada bangsa ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun