Mohon tunggu...
kajitow elkayeni
kajitow elkayeni Mohon Tunggu... penulis -

https://www.facebook.com/kajitow

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fahira dan Hal-hal yang Tak Perlu Dijelaskan

8 Mei 2016   13:43 Diperbarui: 8 Mei 2016   13:51 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seringkali kita membaca peryataan yang tak masuk akal di media massa. Anehnya, hal itu dimunculkan oleh mereka yang mestinya pantas disebut intelek. Tokoh masyarakat, anggota dewan, tokoh agama, pakar ini-itu. Kita terkejut, karena ternyata pendidikan tinggi, pergaulan kalangan atas, materi dan kemudahan mengakses informasi, tidak lantas membuat seseorang bijak.

Soal pemerkosaan misalnya, orang akan menuduh miras sebagai biang keladi. Fahira sebagai wakilnya. Miras yang berusia lebih tua dari agama di dunia itu adalah terdakwa paling mudah. Orang mau berbuat jahat mesti mabuk dulu, supaya gampang berdalih. Kan saya mabuk, orang mabuk bebas dong? Jangan salahkan saya, salahkan minumannya.

Sudah begitu ada juga yang menuntut kesetaraan penghormatan. Kenapa hanya Yuyun? Ini juga diperkosa, itu juga diperkosa. Kenapa hanya Yuyun? Adillah sejak dalam pikiran. Kalau ada ribuan kasus perkosaan, maka kita perlu membuat ribuan meme dengan nama masing-masing korban, pray for anu. Lalu kita dengan khusuk berdoa di Facebook.

Atau perihal budaya kekerasan, dan menjadikan game sebagai dalang. KPAI dalam hal ini main potong kompas. Mereka akan keder jika berhadapan dengan sumber keonaran lain, misalnya sinetron ala Punjab (sory jika rasis). Tentu orang-orang kaya akan memberikan perlawanan. You ganggu bisnis i, saya bikin you nehihe nehihe, achahe.

Game adalah tertuduh paling gampang. Rata-rata game itu diimpor dari luar. Ada game made in dalam negeri, tapi kurang gahar. Imajinasi mereka kering. Paling nanti anak-anak gamer yang akan protes. Di negara ini suara mereka tidak dihitung, bahkan oleh KPAI sekalipun. Meskipun, karena anak-anak itulah KPAI ada dan digaji. Gamer dianggap hanya benalu. Anak anak autis yang gemar mengurung diri di dalam kamar. Mereka introvert yang aneh. Sementara pemuja gaya hidup sinetron dan doktrin industri kebudayaan lain adalah aset. Mereka ekstrovert yang mudah dipahami. Mereka adalah penggerak roda ekonomi.

Tapi kita juga mesti memaklumi. Apa yang dilakukan KPAI itu untuk menunjukkan pada khalayak, bahwa mereka bisa bekerja. Ini sesuai dengan jamannya, kerja, kerja, dan kerja. Jika sedikit melenceng, mungkin itu karena terlalu bersemangat saja. Tolong dimaklumi.

Orang bahkan sudah lama menjadikan perempuan sebagai biang dosa, manivestasi iblis, induk segala fitnah. Sehingga bapa kita Adam, mesti menjalani hukuman di dunia. Maka dari itu perempuan harus dibungkus dengan berbagai atribut keagamaan dan kebudayaan. Perempuan harus dilindungi dengan kerangkeng demi keselamatan laki-laki.

Kita sudah terlalu berpengalaman dalam menyalahkan yang lain.

Maka kita mestinya tidak terkejut dengan sosok seperti Fahira, ketua KPAI, Fadli, Jonru, Dhani, Yusril. Karena mereka adalah kita. Mereka lahir dari pola pikir, kesesatan dogma, warisan menyalahkan yang ada dalam masyarakat kita. Ini bukan soal intelektualitas. Orang boleh sekolah setinggi Yusril, tapi ia akan tetap mengeluarkan statemen konyol layaknya Vicky. Orang boleh piknik jauh seperti Syahrini, tapi ia hanya akan dapat kesan hidup hedonis. Bukan soal wawasan terbuka menjadi manusia.

Apa yang terjadi pada Fahira dan lainnya itu, mestinya sudah tak perlu dijelaskan lagi. Yang sakit itu kita. Kenapa Fahira bisa berpikir begitu konyol? Karena itulah pola pikir masyarakat kita. Selama pola pikir itu masih bergentayangan, ada jutaan Fahira lain yang akan muncul. Dia bisa jadi dokter, pengacara, menteri, wakil rakyat, guru, seniman, residivis, tokoh agama. Karena Fahira adalah kita.

Lalu bagaimana mengobati sindrom Fahira ini? Barangkali butuh puluhan tahun untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan menyalahkan yang lain. Penyakit ini sudah demikian kronis. Tapi setidaknya kita bisa memulai dari hal kecil dulu, dari hal paling sederhana, tidak menjadi agen penyebar berita hoax atau jualan isu agama misalnya. Achahe?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun