Mohon tunggu...
Meradang Menerjang
Meradang Menerjang Mohon Tunggu... Dokter - KASTRAT BEM KM FK UNAIR

Kumpulan keresahan, opini dan ringkasan berita. Mencoba berjuang dengan Lidah dan Pena

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berjuang dengan Lidah dan Pena

14 Maret 2020   11:28 Diperbarui: 14 Maret 2020   11:38 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

300 ribu tahun sejarah peradaban umat manusia (setidaknya menurut sains), selama itu pulalah manusia telah bercumbu dengan PERJUANGAN. Mulai dari perjuangan paling sederhana, berjuang untuk bertahan hidup: makan, minum, tidak sakit (walaupun masih menjadi kesakitan kaum proletar hingga sekarang) hingga kemudian kemampuan merangkai fiksi bertambah menjadi jauh lebih kompleks dan manusia berjuang untuk nilai-nilai yang dipandangnya luhur: keadilan, kesetaraan, hak asasi, harga diri dan... sebagainya, dan seterusnya.

Sejarah kita selalu dipenuhi oleh kisah perjuangan, dan kisah-kisahnya selalu diceritakan berulang-ulang memberikan inspirasi kepada generasi selanjutnya, kita begitu bangga terhadap perjuangan terlebih yang menyakut identitas kita. Kita mengabadikannya menjadi monumen, tugu, patung, mendokumentasikannya dalam bentuk buku, mengajarkannya di bangku sekolah, membicarakannya di forum-forum kepemudaan. Beberapa kisah perjuangan: Pembebasan dari perbudakan Mesir, penaklukan konstantinopel memberi inspirasi dan semangat pada umat-umat beragama. Perjuangan merebut kemerdekaan memberi inspirasi dan semangat pada putra-putri setiap bangsa dan negara.

Manusia memang cinta berjuang, bukan hasilnya, mungkin bisa dibilang kita mencintai perjuangan itu sendiri, kita tergila-gila dengan perjuangan. Bahkan terkadang manusia rela mengorbankan banyak hal untuk menuntaskan perjuangannya bahkan ketika dia tahu yang dikorbankan dan yang mungkin didapatkan darinya tidak sepadan: Balas dendam, bukankah kita menggilainya? Berapa film, buku, lagu yang bercerita tentangnya? Berapa yang kau tonton baca dengarkan dan bersorak setelahnya? Bukankah sang jagoan 'mati' pada akhirnya?

Perjuangan selalu mengenai siapa yang diperjuangkan, terhadap siapa memperjuangkannya dan bagaimana 'arena' perjuangannya. Objek perjuangan kita selalu berubah seiring zaman dan hal itu pula lah yang mengubah strategi kita dalam berjuang. Manusia memulai dengan berjuang bertahan hidup melawan hewan predator dan memburu hewan buruan. Kemudian setelah nyaman dengan dominasi eksistensinya, manusia mulai berjuang melawan sesamanya: yang ruas tulang belakangnya berjumlah 33 sepertinya, yang volume tengkoraknya sangat besar seperti dirinya.

Selain itu medium perjuangan pun mengubah cara berjuang, mulai dari berjuang dengan pedang lalu berjuang dengan pedang dan sedikit orasi kata-kata kemudian berjuang dengan sedikit pedang dan banyak orasi kata-kata, dan selanjutnya berjuang menggunakan kata-kata dengan 'penguat' kata-kata (radio, televisi, internet). Kita beralih dari banyak otot dan sedikit berpikir menjadi sedikit otot dan banyak berpikir.

KATA-KATA, baik yang diucapkan maupun dituliskan merupakan elemen terkuat di muka bumi. Kata-kata lebih dari sekedar getaran pita suara maupun goresan tinta. Dengan kata-kata, Dr. Martin Luther King Jr. Menyampaikan pidatonya "I Have a Dream" hingga hitam-putih dapat duduk bersama. Namun, dengan kata-kata pula lah Adolf Hitler memanggang jutaan Yahudi di kamar uap selama Holocaust perang dunia kedua. Tidak perlu mencari contoh perlu jauh-jauh, "Kamu cantik hari ini" dapat membangkitkan mood seorang wanita untuk semangat seharian, sedangkan "Kamu kok gemukan yah" akan merusak harinya, mungkin memang tidak diperlihatkannya, namun setelah berbincang denganmu dia masuk ke toilet dan memandangi pipinya di cermin. Intinya, hal kecil atau hal besar, kata-kata mempunyai kemampuan menyentuh relung hati manusia hingga menimbulkan efek psikologis pada dirinya.

Kata-kata adalah senjata perjuangan yang paling sempurna. Keefektifan kata-kata dalam memperjuangkan dipengaruhi oleh seberapa kata-kata tersebut dipercayai oleh massa yang diperjuangkan. Terkadang tidak perlu fakta, karena  manusia adalah mahluk yang perasa ketimbang pelogika, yang terpenting adalah mewakili apa yang dirasa. Rasanya fenomena ini dapat teramati jelas dalam Pilpres kemarin, perjuangan merebut kursi kekuasaan yang masih segar dalam ingatan.

Kita melihat bahwa narasi pelanggar HAM, narasi jenderal yang dipecat, menggerus elektabilitas Prabowo. Hal ini tidak berhubungan dengan benar(fakta) atau tidaknya hal tersebut, hal ini berhubungan dengan seberapa pendukung 01 mempercayai hal tersebut dan menjadi lebih militan dan kemudian membuat terhimpunnya suara 55,5% suara nasional untuk kemenangan Jokowi-Ma'ruf. Begitupun pendukung 02: "..apalagi kau bela-bela antek asing(brak brak brak)", harga bahan pokok kebutuhan hidup yang mahal, pemerintah berpihak pada Cina, infrastruktur salah strategi. Merasa terwakilkan penderitaannya, merasa diperlakukan tidak adil di negeri sendiri, hingga tidak dapat menerima kekalahan 'simbol perjuangannya', akumulasi ini menghasilkan kerusuhan 22 Mei di depan gedung MK yang hari itu menewaskan 8 orang anak bangsa.
 
Kata-kata bisa sangat begitu menginspirasi sebuah aksi, menginspirasi sebuah perubahan. Oleh karena itulah kata-kata adalah amunisi sempurna untuk perjuangan.

Ditulis oleh Departemen Kastrat BEM KM FK Unair 2020

Dipublish di OA Line 'Meradang Menerjang' pada 13/03/2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun