Mohon tunggu...
Politik

Menelanjangi Keterbukaan

21 Februari 2018   14:27 Diperbarui: 21 Februari 2018   14:35 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kembali, lembaga legislatif tertinggi dari Republik Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beserta jajarannya melalui rapat paripurnanya membuat geger seluruh rakyat Indonesia, terlebih bagi mereka yang nikmat menyeruput seduhan politik bangsa. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD baru saja direvisi pada rapat paripurna yang diselenggarakan di kompleks DPR pada Senin, 13 Februari 2018. Undang-undang ini sejatinya membahas mengenai peraturan umum yang mengikat bagi lembaga legislatif tertinggi di Indonesia ini mencakup MPR, DPR, DPRD, dan DPD yang dijelaskan melalui pendekatan hak dan kewajiban serta wewenang yang dimiliki secara penuh oleh keempat anggota legislatif tersebut.

Lantas hal ini menjadi polemik umum di dalam masyarakat Indonesia dimana mengisyaratkan bahwa akan ada proses kemunduran dalam berdemokrasi di Indonesia bahwa terdapat pembungkaman masif terhadap opini publik kepada pejabat yang sedang memangku tahta kerajaan. Secara substansial, undang-undang yang baru saja direvisi oleh DPR ini menjadikan lembaga legislatif yang ada di Indonesia ini akan sangat sulit dijangkau oleh ranah hukum. Pada dasarnya ada banyak pasal yang direvisi, Lucius Karus selaku Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia angkat suara mengenai hal ini, namun mereka cenderung untuk menutupi pembahasan pasal-pasal yang lain -termasuk pasal-pasal yang kontroversial- dengan dalih rencana revisi ini hanya diperuntukkan untuk merevisi pasal terkait penambahan jumlah pimpinan DPR dan MPR.

Terdapat setidaknya tiga pasal yang menjadi problematika yang menjadi titik kajian kebanyakan pergerakan yang sangat kritis terhadap hal ini. Mari kita kaji secara saksama ketiga pasal ini.

Pada pasal 73 ayat 3 tertulis bahwa Dewan Perwakilan Rakyat berhak untuk melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pun ditambah dengan adanya frasa "wajib" pada ayat setelahnya. Pemanggilan paksa ini ditujukan bagi mereka yang menolak tidak hadir dalam setiap rapat dengar pendapat yang dilaksanakan oleh DPR. Menurut mereka yang membahas pasal ini, pasal ini dibuat karena belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa ada sebuah institusi yang menolak undangan yang diberikan oleh DPR untuk menghadiri rapat dengar pendapat. 

Disini kita dapat melihat bagaimana terdapat superioritas dari DPR sendiri yang secara tidak langsung menasbihkan bahwa dewan legislatif ini memiliki kekuatan di segala bidang. Mereka menjadikan para penegak hukum --dalam konteks ini Kepolisian Republik Indonesia- sebagai alat mereka untuk memeroleh superioritas. Ini jelas tidak berkesesuaian dengan fungsi asli DPR sendiri dimana lembaga legislatif sebagai lembaga pembuat kebijakan, peraturan, dan undang-undang. Apakah ini yang disebut dengan keterbukaan?

Pasal 122 huruf k berbunyi bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan --yang merupakan bagian dari dewan legislatif itu sendiri- bertugas mengambil langkah hukum atau langkah lainnya terhadap orang perseorangan, atau kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Hal ini mengindikasikan bahwa akan semakin tertutup ruang suara publik terhadap DPR karena setiap orang yang ingin menyuarakan pendapatnya akan bungkam dengan adanya aturan ini. Para penyuara kebenaran akan takut dan cenderung menghentikan aksinya. Tidak akan ada lagi bentuk evaluasi masyarakat keseluruhan terhadap kinerja DPR karena takut akan diajukan sebagai bentuk penghinaan dan terjerumus ke langkah hukum. Evaluasi masyarakat akan hilang ditelan zaman. Apakah ini yang disebut dengan keterbukaan?

Terakhir, pasal 245 menyebutkan bahwa pemeriksaan kepada anggota dewan legislatif harus dipertimbankan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan dan Presiden sebelum masuk ke aparat penegak hukum. Disini jelas sekali terlihat bahwa DPR ingin membuat tembok raksasa yang besar antara kekuasaan mereka dengan kita sebagai salah satu evaluator dari kinerja anggota dewan. Ini tidak memberikan ruang gerak bagi kita untuk mengevaluasi serta akan memberikan posisi nyaman bagi mereka yang memiliki kursi kekuasaan disana. Mereka akan merasa tentram karena delik aduan yang disampaikan kepada mereka memerlukan proses yang sangat panjang sehingga mereka bahkan dapat menghilangkan bukti-bukti yang ada. apakah ini yang disebut dengan keterbukaan?

Terlepas dari pro-kontra yang berkeliaran, mari kita kembali kepada pendekatan eksistensi kita sebagai seorang manusia.

Dalam konteks ini, penulis ingin sedikit menelisik melalui pendekatan kemanusiaan yang mungkin seringkali terabaikan oleh kita. Sebagai seorang mahasiswa, kita sudah diajarkan untuk bisa berlaku adil kepada keadaan sekitar dan adil terhadap diri kita sendiri. Hal yang penulis maksudkan disini adalah adanya ranah keterbukaan sebagai seorang mahasiswa yang mencakup luas pada berbagai aspek kehidupan. Mengungkapkan pendapat di ranah publik serta terbuka dari segala kritik yang disampaikan dan ditujukan kepada kita merupakan beberapa manifestasi yang dapat kita tarik dari bentuk keterbukaan di era global ini.

Manusia sebagai makhluk sosial pun telah menjelaskan sebuah konsep universal bahwa kita tidak dapat hidup secara soliter. Perlu bagi kita untuk hidup berdampingan dengan manusia-manusia yang lain. Bukan hanya dalam konteks fungsi bantuan yang dapat diberikan antar manusia, tapi juga dalam fungsi evaluasi secara berkelanjutan terhadap manusia tersebut. 

Kita tidak dapat mengevaluasi diri kita secara penuh karena konteks evaluasi yang diajukan haruslah bermula dari kacamata sudut pandang lain yang merasakan imbas dari sesuatu yang telah kita lakukan. Evaluasi yang dilakukan terhadap pribadi yang menggunakan kacamata pribadi merupakan bentuk pembenaran terhadap apa yang kita sudah perbuat, tidak dapat dijadikan sebagai acuan umum perbaikan yang akan kita lakukan ke depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun