Boneka beruang kecil yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi, kini berada tepat di atas ulu hatinya. Menginjaknya begitu kuat, hingga Nadin hampir memuntahkan isi perutnya. Ia ingin sekali berdiri, akan tetapi tubuhnya kaku. Ia tidak dapat menggerakkannya sama sekali.
Darah masih menetes dari bekas jahitan pada mata boneka beruang coklat itu. Tetesan yang menjadikan wajah Nadin berlumuran darah.Â
Sembari memulihkan tenaganya, Nadin kembali menyadari keberadaan sebuah benda yang seingatnya telah ia bakar beberapa tahun yang lalu. Sapu tangan merah muda. Warna dan bentuk yang sama seperti di masa kecilnya, kini benda itu telah menutupi dadanya. Nadin pun menjasi semakin ketakutan. Ditambah gunting dan pisau yang ia genggam sebelumnya telah hilang.Â
Sesaat Nadin merasa lega karena benda tajam itu tidak lagi berada dalam genggamannya. Namun, seiring dengan permintaan boneka-boneka itu untuk meminta bola matanya, ia menyadari bahwa ternyata gunting dan pisau itu telah berada dalam genggaman boneka beruang kecil yang berada di atas ulu hatinya.
"Kau harus menggantikan bola mataku yang dulu kau congkel keluar, Nadin!"
Suara boneka beruang yang berada dia atas ulu hatinya itu membuatnya menjerit. Ia sangat ketakutan. Semakin ia takut, semakin banyak ia melihat boneka-boneka beruang tanpa bola mata di sekelilingnya. Kini ia berada di tengah-tengah boneka beruang yang terus meminta bola matanya.
Pipinya kini terasa dingin. Sentuhan pisau dan gunting yang terus mendekati bola matanya begitu terasa. Bulir air mata tak dapat lagi ia bendung. Dalam hatinya, ia berdoa agar kedua orang tuanya akan hidup bahagia tanpanya. Karena ia akan mempertanggung jawabkan semua perbuatannya saat kecil. Kedua bola matanya akan dicongkel keluar, dengan cara yang sama seperti saat ia mencongkel kedua bola mata boneka beruang kesayangannya itu.
"Bersiaplah Nadin!"
Boneka itu berseru saat pisau dan gunting telah mencapai masing-masing lingkaran kedua mata Nadin.
Tidaaaaaaaaak!!
Nadin menjerit histeris.