Boneka beruang itu terus mendekat. Jahitan pada bagian matanya mengeluarkan darah, meresap pada bagian pipinya dan membuat wajah boneka itu menjadi lembab. Gunting dan pisau yang berada dalam bayangan masa lalunya tiba-tiba berada dalam genggaman Nadin, entah dari mana asalnya.
Perlahan ia berjalan mundur, menghindari dua boneka beruang yang terus mendekatinya. Boneka itu seperti memendam kebencian pada Nadin. Tampak beberapa gigi pada mulut boneka itu. Hidungnya terkoyak, lengannya robek, dan jahitan pada kedua matanya terlepas perlahan.
Darah-darah kental terus keluar dari bekas jahitan itu. Membasahi rumput-rumput di taman. Sedangkan Nadin masih tak mengerti harus berbuat apa dalam keadaan seperti itu. Tangannya terasa sangat kaku, ia seperti sedang dikendalikan.
Boneka beruang di hadapannya terus mengucapkan kalimat yang sama. Kalimat yang membuat Nadin sangat ketakutan. Ia tidak ingin mencongkel bola matanya sendiri.
"Maafkan aku, kalian hanya sebuah boneka mainan," ucap Nadin lirih.
Ia berharap kedua boneka itu akan menghentikan langkahnya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Boneka itu semakin marah dan telah berada lima centi dari hadapannya. Kini ia tinggal menunggu takdir Tuhan yang akan menyelamatkannya atau membuatnya berakhir tanpa kedua bola matanya.
"Berikan bola matamu!"
"Congkel bola matamu!"
Kedua boneka itu terus bergantian mengatakan kalimat itu. Membuat Nadin semakin tak berdaya. Embusan angin terasa menusuk kulitnya. Tubuhnya tak lagi dapat bergerak. Langkah kakinya terhenti, seperti tertahan oleh sesuatu. Tangannya masih menggenggam pisau dan juga gunting.
Brukgh,
Nadin tersungkur saat sebuah pukulan mendarat pada kepalanya. Pandangannya tiba-tiba menjadi sangat buram. Ia melihat boneka beruang besar di hadapannya itu sedang menggenggam kayu balok. Kayu yang sama seperti miliknya di masa lalu. Dan semuanya semakin terasa tidak masuk akal.