Mohon tunggu...
Kahfi
Kahfi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat wacana sosial, politik, agama, pendidikan, dan budaya

Manusia bebas yang terus belajar dalam kondisi apapun, Jangan biarkan budaya menjiplak ditengah ekonomi yang retak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mural, Wujud Aspirasi Kreatif Saat Pandemi

24 Agustus 2021   15:37 Diperbarui: 24 Agustus 2021   15:44 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berkembangnya dunia teknologi tak menyurutkan langkah generasi milenial dalam menyampaikan aspirasi kepada pemangku jabatan di Republik Indonesia yang tengah dilanda pandemi, berbagai aturan yang mengharuskan masyarakat tak berkerumun, memakai masker, membatasi mobilisasi, hingga menjaga jarak, membuat generasi milenial tak kehilangan akal untuk menyalurkan aspirasi agar sampai dikhalayak ramai dan harapannya bisa didengar oleh para pejabat. Tentu, dengan harapan dapat membawa perubahan dan solusi yang atas kondisi pandemi yang tak berkesudahan.

Namun, lagi-lagi reaksi yang diberikan dari pemerintah bukanlah solusi agar pejabat lebih bekerja untuk segera menyelesaikan persoalan pandemi, justru para pemangku jabatan menimbulkan kegaduhan lantaran menghapus berbagai aspirasi yang disampaikan dalam bentuk karya seni berupa mural. 

Lantaran, dianggap menghina simbol negara, ini mengingatkan beberapa aksi yang dilakukan oleh mahasiswa UGM dan UI yang membuat poster tentang jokowi sebagai kepala negara dengan label "Ketidaksesuaian Omongan dengan kenyataan" dan "King of Lip Service" yang berujung pada proses pemanggilan terhadap mahasiswa tersebut oleh birokrasi kampus.

Sebagai negara yang mengatur tentang penyampaian pendapat dimuka umum atau bebas mengemukakan pendapat sebagaimana diatur dalam pasal 28 UUD 1945 "kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan aspirasi pikiran lisan, tulisan dan sebagai nya yang ditetapkan oleh undang-undang, terasa janggal dengan respon yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para mahasiswa juga pegiat seni yang menyampaikan aspirasi melalui karya seni. Tak ubahnya, dengan rezim orde baru yang mencoba membungkam berbagai kritik yang muncul lewat tulisan. Hanya saja saat ini, kritik tersebut disampaikan melalui karya seni mural dan poster digital.

Sebagaimana telah diketahui, beberapa UU yang lahir atas tumbangnya rezim orde baru selama 32 tahun memimpin Indonesia yang anti kritik. Yaitu, kemerdekaan penyampaian pendapat dimuka umum menjadi UU Nomor 9/1998, Undang-undang Nomor 40/1999 tentang pers, dan UU Nomor 32/2002 tentang penyiaran. 

Undang-undang tersebut merujuk Deklarasi Universal HAM pasal 29 ayat 2 dalam menjalankan hak-hak kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan undang-undang yang telah ditetapkan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Mural Jalan Aspirasi

Oleh karenanya, penyampaian aspirasi yang dilakukan oleh para mahasiswa dan pegiat seni tentu tidak boleh lagi terjadi pembungkaman selama masih mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Karena, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau menerima kritik dan masukan dari rakyatnya. Lantaran, hal itu pula Jokowi pernah mengatakan rindu akan didemo oleh mahasiswa. Namun, ketika krtik itu datang ternyata reaksi yang ditimbulkan dari pejabat pembantu presiden berlebihan dalam menanggapinya.

Bila, demikian justru ini akan merespon gelombang yang lebih besar dari para pegiat seni dan mahasiswa yang terus-terusan dikekang dalam menyampaikan aspirasi. Karena, apapun yang berbentuk aspirasi yang datang dari rakyat pemerintah haruslah mendengar dan mencarikan solusinya sebagai orang yang diberikan kepercayaan dalam mengelola sumber daya alam dan mengelola kebijakan guna memberikan keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan terhadap rakyat. 

Mural merupakan seni kritik yang kreatif ditengah pandemi seperti ini. Tidak mengumpulkan banyak orang, dan tetap menjaga jarak karena terbatas dalam melakukan seni mural. Termasuk juga dengan aktifitas medsos yang resmi akunnya, tentu saja sah-sah saja selama tidak bertentangan dengan undang-undang yang telah ditetapkan.

Perkembangan teknologi menuntut setiap manusia menggunakannya secara arif dan bijaksana, bukan justru untuk bertindak sewenang-wenang terlebih untuk berbuat kejahatan atau menebar kebencian. Penulis meyakini bahwa para mahasiswa yang membuat poster tersebut bukan semata-mata untuk menebar kebencian terhadap pribadi Jokowi, melainkan terhadap sosoknya sebagai seorang kepala negara yang memimpin jutaan nasib rakyat indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun