Mohon tunggu...
Kaha Anwar
Kaha Anwar Mohon Tunggu... Serabut-an -

MJS Press

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jadilah Muslim Toleran

20 Februari 2012   02:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:26 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329705759235122930

Wacana yang dari dahulu sampai sekarang terus menerus diperbincangkan, ditulis dan diteriakan berbagai kalangan adalah toleransi. Toleransi menjadi barang berharga yang perlu dilindungi, dijaga dan diselamatkan dari ancaman-ancaman yang terus mengincar keberadaannya. Toleransi seolah barang langka yang perlu dibuatkan cagar alam, supaya tak terjerembab dalam kemusnahan.

Kaitan toleransi yang paling sering adalah agama khususnya cara beragama kaum agama. Islam sebagai salah satu agama dengan pemeluk terbesar tidak luput dari perbincangan tersebut. Harus diakui bahwa Islam untuk saat ini banyak mendapat sorotan, seolah semua mata tertuju pada Islam. Mata yang mencereng tadi sembari bertanya-tanya apa itu Islam? Bagaimana ajarannya? Apa yang ditawarkan dari Islam untuk kedamaian umat manusia? apakah memang benar Islam punya jiwa kedamaian sebagai mana akar kata “Islam” sendiri?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terlepas dari berbagai peristiwa aksi kekerasan baik dalam skala lokal maupun global yang melibatkan umat Islam. Aksi intoleransi yang menyeret kekerasan fisik itu terjadi di negara-negara yang warga negaranya memeluk Islam, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama terus bermunculan. Teror, bom syahid, perseteruan antara aliran seagama, aksi dukung perda atas nama agama yang dibarengi aksi brutal menjadi pemandangan yang tidak mengenakkan mata di negara yang mengusung semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.

Dalam pergumulan dunia, tejadi Islamophobia, ketakutan terhadap Islam, yang dibarengi dengan penciptaan stereotype bahwa umat Muslim adalah ekstremis, pembuat onar, anti-Kristen dan anti-Yahudi, menolak demokrasi, opresif terhadap wanita, dan memaksakan penerapan hukum Islam yang kejam. Dan mudah diprediksi, sebagai respons atas kuatnya propaganda Islamophobia itu, muncul gejala “Islamophilia” di kalangan Muslim yang berupaya menampilkan citra positif bagi Islam. Jika Islamophobia cenderung menjelek-jelekan Islam, Islamopholia cenderung membaik-baikkan citra Islam.

Munculnya gejala Islamophilia bukan tanpa mengundang problem baru. Islamophilia acap terjebak dalam subjektivitas dan krisis transparansi ketika menampilkan citra positif Islam. Islamophilia mengatakan bahwa Islam adalah agama toleran tetapi, pada saat yang bersamaan, dengan sengaja sering menyembunyikan elemen-elemen intoleran yang sedemikian banyaknya dalam tradisi pemikiran Islam.

Berjibun pertanyaan muncul bersamaan aksi-reaksi antara Islamophobia dengan Islamophilia, jika benar Islam agama toleran, mengapa masih ada sebagaian dari umatnya yang melakukan kekerasan? Jika Islam menjamin kebebebasan beragama, mengapa sebagaian umat Islam masih ada yang menyerang tempat beribadah agama lain, kelompok lain? jika benar Islam membawa rahmat bagi semua, mengapa masih ada friksi Muslim yang melakukan bom bunuh diri? Apakah toleransi selaras dengan Islam itu sendiri? Atau, jangan-jangan toleransi hanyalah konsep asing yang didatangkan dari peradaban Barat yang sekuler dan liberal?

Buku yang ditulis Irwan Masduqi ini mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Buku ini berusaha tidak terjebak pada Islamophobia yang cenderung menjelek-jelekkan Islam, pada Islamophilia yang cenderung membaik-baikkan citra Islam, maupun pada westophobia yang secara emosional mencaci maki Barat. Buku ini akan berusaha berimbang menguak masalah toleransi dalam tradisi pemikiran Islam di satu sisi, di sisi lain, tanpa ragu menguak elemen-elemen intolerasi yang terkandung di dalamnya.

Buku ini menawarkan konsep toleransi Islam menurut perspektif sederet pemikir kontemporer yang ide-idenya patut diapesiasi dan diwacanakan di Indonesia sebagai basis teologi kerukunan antar umat beragama. seperti pendapatnyaGamal Al-Banna, adik dari Hasan Al-Banna, mengidentifikasi bahwa kekerasan atas nama agama dan tindakan intoleran senantiasa lahir dari ekslusivisme. Sedangkan Hasan Hanafi berupaya mendeskripsikan secara jernih mengungkap sisi positif dan negatif fundamentalisme.

Dalam konteks keindonesian, Gus Dur berjasa memperjuangkan nilai-nilai toleransi demi terbinanya kebinekaan dan kemajemukan. Islam adalah agama yang satu, tetapi mengapa pemahaman keislaman bersifat plural? Pembaca akan diajak menyusuri jalan menjadi Muslim toleran ala santri yang secara arif mendialogkan ajaran keislaman dengan semnagat kebangsaan. Yohanan Friedman, peneliti Yahudi, tampak ragu-ragu, apakah benar Islam adalah agama toleran? Keraguannya ini muncul setelah dia menemukan elemen intoleran dalam Al-Quran, hadis, dan tradisi pemikiran Islam.

Akhirnya, buku ini memang selayaknya dibaca bagi siapa saja, khususnya bagi Muslim, untuk mencermati akar kekerasan, fundamentalisme yang terjadi dalam pemikiran Islam. Tujuannya tidak lain adalah jangan sampai menjadi Islamophilia yang hanya menampilkan citra baik Islam secara berlebihan tanpa mengakui memang benar adanya sikap intoleran yang terjadi dalam tradisi pemikiran Islam. Sikap berimbang harus dimiliki oleh setiap Muslim, bukankah Islam menganjurkan pemeluknya menjadi manusia yang cinta kedamaian dan ummatan wasathan? Selamat membaca!

Judul buku:Berislam Secara Toleran, Teologi Kerukunan Umat Beragama

Penulis:Irwan Masduqi

Penerbit:Mizan Bandung

Cetakan:cetakan 1, November 2011

Tebal:xxxi + 310 halaman

kaha.anwar@gmail.com

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun