Mohon tunggu...
Kaha Anwar
Kaha Anwar Mohon Tunggu... Serabut-an -

MJS Press

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Benarkah Tuhan Sang Pencipta Jagat Raya?

25 Maret 2011   03:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:27 2843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13010241191554308246

Pertanyaan ini, mungkin, sedikit menggelitik dan mengkerutkan kening pembaca., bukan dalam skala terbawa oleh pertanyaan ini, melainkan sedikit janggal dan aneh dengan pertanyaan tersebut. Umat beragama manapun dan di mana pun tahu bahwa Tuhan-lah sebagai pencipta jagat raya seisinya.

Tetapi tunggu dulu, bagaimana halnya bila pertanyaan tersebut diberikan kepada orang-orang yang belum dan sedang mencari siapa pencipta alam semesta ini? Apakah Tuhan? Benarkah “Dia” sebagai kreator agung, sebab awal, dari jagat raya ini? Pertanyaan inilah yang penulis temukan ketika membaca tulisannya Paul Davies dalam bukunya Tuhan, Doktrin dan Rasionalitas. Buku tersebut seolah membongkar keimanan kita yang sejak kecil memang sudah terbiasa dengan kata-kata “Tuhan-lah yang menciptakan Jagat raya ini”. Sebagai manusia, wajar kalau ada kegundahan dalam beriman artinya kita memang diajak berpikir untuk mencari makna tertinggi tentang Tuhan itu sendiri. Ayat suci mengajak manusia untuk bertauhid pun didahului dengan argument yang mengerucut menuju ketuhanan dan tidak begitu saja bukti,baik empiris, realitas yang ada langsung kita ‘hap’, beriman , melaikan ditantang untuk berpikir.

Dalam dunia ilmiah, semisal fisika dan konco-konconya, teori Big Bang adalah teori yang memungkinkan untuk menerima bahwa alam memang diciptakan dari ketunggalan. Ketunggalan ini dimaksudkan adalah sebelum alam semesta terbentuk seperti sekarang ini dan waktu maupun ruang masih dalam satu rahim, dikenal dengan titik singularitas, merupakan asal usul alam semesta. Titik ini belum bisa dikatakan seperti apa (barangkali keadaan inilah yang oleh orang jawa dinamakan sebagai alam awang uwung), serta apa yang ada dalam singularitas, dan sebelum titik singularitas tersebut. Karena kalau kita menyebutkan keadaan dalam singularitas tersebut berarti ruang dan waktu sudah ada, karena “keadaan” bergandengan dengan ruang dan waktu, sehingga singularitas itu belum bisa didefinisikan dengan tepat, sebetulnya apa yang ada di situ, hanya Sang Pencipta titik singularitas sendiri yang tahu. Wa’allahu a’lam.

Dalam tulisannya, benarkah Tuhan menciptakan jagat raya? Paul Davies mengemukakan bahwa Big Bang dan kemajuan-kemajuan mutahir dalam pemahaman kita fakta penciptaan itu sendiri dipandang memadai untuk mengungkapkan eksistensi Tuhan. Kemudian tulisan itu disusul penciptaan? Apakah “sesuatu” bisa ada tanpa adanya kekuatan eksternal yang mempengaruhinya (sesuatu itu muncul dengan sendirinya, tiba-tiba ada, ujuk-ujuk)?.

“penciptaan” didefinisikan, dalam tulisan tersebut, sebagai mengorganisasikan materi secara mendadak dari bentuk purba yang kacau balau dan tanpa struktur menjadi aktivitas yan rumit dan tatanan kompleks yang secara aktual dalam apa yang sebelumnya berupa kekosongan tanpa keistimewaan. Atau ia dapat berarti penampakan tiba-tiba dunia fisik seluruhnya, termasuk ruang dan waktu, dari tiada sepenuhnya.

Penciptaan dengan berdasarkan teori Big Bang dapat dipahami, menurut Davies, bahwa partikel atom ada karena adanya kondisi yang memungkinkan partikel itu mewujud. Rumus matematis Eisnstien yang popular (E= mc2) adalah sebuah penyerdehanaan bahasa, dan itu fungsi matematika, dari statemen bahwa massa dan energy adalah ekivalen: massa memiliki energy dan energy memiliki massa. Massa memilki kuantifikasi energy. Fakta bahwa massa ekivalen berarti bahwa, dalam suatu pengertian, materi adalah energy yang terkunci. Jika cara tertentu dapat ditemukan untuk membukanya, materi akan lenyap ditengah-tengah ledakan energy tinggi. Sebaliknya, jika cukup energy terkonsentrasi—entah dengan cara apa—materi akan muncul.

Tiga ilmuwan fisika (Paul Dirac, C.Y Chao, dan Carl Anderson) mencoba untuk memahami rumus Einstein ini. Paul Dirac dengan prekdisinya yang spektakuler, bahwa jika energy dapat dikonsentrasikan maka satu dari electron dan anti electron akan muncul di mana tak pernah eksis muncul. Pasangan ini (electron dan anti electron) merupakan syarat munculnya materi. Singkatnya, dengan cara ini energy dapat digunakan secara langsung untuk menciptakan materi dalam bentuk pasangan electron- anti electron. Sedangkan, C.Y Chao menggunakan sinar Gamma yang mempunyai energy tinggi untuk menciptakan materi. Sedangkan Carl Anderson mempelajari sinar kosmis yang diserap oleh lempeng baja dan kemudian ia melihat penampakan anti electron. Kesimpulannya bahwa dengan ekspresimen terkontrol, kondisinya, materi dapat diciptakan.

Kondisi lain yang memungkinkan materi terbentuk adalah dengan kondisi gravitasional. Kondisi gravitasional hanyalah suatu lengkungan ruang, yakni ruang yang membelok. Energy yang terkunci dlam suasana lengkungan ruang dapat diubah menjadi partikel-partikel materi dan anti materi. Ini, umpanya, terjadi dekat lubang hitam, dan boleh jadi juga merupakan sumber terpenting dari partikel-partikel dalam dentuman besar. Karenanya, materi muncul secara spontan dari ruang hampa.

Apakah contoh-contoh ini, semacam penciptaan materi secara ilmiah dalam ruang hampa, yang tidak membutuhkan input energy, sama dengan penciptaan ex nihilo versi teologi? Tetapi sains belum memperlihatkan mengenai hakikat ruang dan waktu, baru sebatas materi itu muncul, bukannya bagaimana ruang dan waktu itu muncul atau apakah ia ada sebagaimana materi muncul, artinya memerlukan kondisi tertentu? Kalau ya,bukakankah kondisi adalah berhubungan erat dengan ruang dan waktu? Dalam Qur’an, Allah memberikan batasan bahwa waktu adalah urusan Tuhan karena ia memanng urusan Tuhan. Kalau mempertanyakan apakah ia dan bahan apa untuk menjadikannya “ada” sama halnya, mungkin, kita ingin memahami sesuatu hanya berdasarkan pada materi padahal waktu bukanlah materi. Banyak teolog menolak hal ini dengan tegas. Proses-proses yang digambarkan di sini tidak mempresentasikan penciptaan materi tetapi konversi energy pra eksistensi ke dalam bentuk material.

Kepercayaan bahwa jagat raya sebagai keseluruhan mesti memiliki sebab, sebab itu adalah Tuhan, diucapkan oleh Plato dan Aristoteles, dikembangkan oleh Thomas Aquinas, dan mencapai bentuknya yang paling meyakinkan bersama Gottfried Wilhiem Van Leibniz dan Samuel Clark.

Thomas Aquinas, dalam argument kosmologisnya berpendapat, bahwa pembuktian Tuhan hanya dapat dilakukan secara a posteriori. Dengan mengajukan lima bukti, diantaranya; adanya gerak dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada penggerak pertama, yaitu Allah. Di dalam dunia yang diamati terdapat suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau yang berdaya guna, tidak pernah ada sesuatu yang diamati yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya sendiri. Karena sekiranya ada yang menghadirkan dirinya tentu harus mendahului dirinya sendiri. Intinya, dari argument Aquinas, adalah bahwa ada pencipta yang menyebabkan adanya segala sesuatu.

Sekali lagi argument ini difalsifikasi. Sains terdekat yang memfalsifikasi dalah mekanika kuantum. Menurut teori ini, jika untuk suatu kejadian orang harus memilih kedatangan suatu partikel sub-atomik pada tempat tertentu maka kejadian tersebut tidak memiliki sebab, dalam pengertian bahwa ia secara inheren tak dapat diprediksi. Partikel ini muncul di tempat tanpa sebab. Sedangkan hukum kausalitas mengalami kendala yang cukup serius.

Kesulitan logis dalam mengkaitkan sebab itu kepada Tuhan, karena ia lalu dapat dipertanyakan ‘apakah yang menyebabkan Tuhan?’ jawaban biasanya adalah bahwa ‘Tuhan tidak membutuhkan sebab’. Dia adalah wujud niscaya, yang sebabnya harus ditemukan dalam dirinya sendiri. Tetapi argument kosmologis yang dibangun di atas asumsi bahwa segala sesuatu menuntut sebab, namun berujung konklusi bahwa paling tidak ada sesuatu yang tidak menuntut sebab. Argument ini harus bertentangan dalam dirinya sendiri.

Bagaimana ini

Memang sulit untuk menjelaskan tentang Tuhan itu sendiri apalagi harus dihadapkan pada filsafat pragmatism dan empirsme, yang seolah-olah semua harus bisa dibuktikan dan dirumuskan secara matematis. Kita seolah diajak mencari hakikat dengan hanya mengandalkan intusi akal dan indera yang lain, sehingga mengesampingkan alat-alat yang lain, yang memungkinkan kita bisa mendapatkan ilmu ketauhidan yang ingin dicapai. Dalam Islam sendiri, setidaknya, ada tiga jalan untuk memperoleh ilmu pengetahuan yakni bayani, burhani dan irfani. Kemungkinan apa yang kita baca dari teori-teori di atas masih sebatas bayani dan burhani (melihat dan mendemonstrasikan).

Pikiran hanya berkutat dengan idea atau gagasan. Pikiran tidak mungkin mampu mengurusi hal-hal lain kecuali ide. Oleh karena itu, tidak benar jika kita membayangkan bahwa rasio mampu memikirkan realitas yang sesungguhnya. Yang dapat dipikirkan oleh rasio adalah sebatas ide tentang realitas. (apakah realitas yang sesungguhnya memang demikian atau tidak, merupakan permasalahan metafisika). Akibatnya, apakah sesuatu dikatakan benar atau salah tidak diukur dengan seberapa ia dekat dengan kebenaran absolut, tetapi ditentukan oleh seberapa konsisten ia dengan pengalaman kita.

Sebenarnya apa sih bukti yang sering diagung-agungkan agar yakin maka kita harus punya bukti itu? Bukti matematis yang sering dituntut dalam hal ini adalah apa yang kita lakukan itu membuktikan bahwa kita berlaku menurut norma (apalagi norma itu sendiri yang kita buat). Norma, dalam hal ini, adalah apa yang kita pahami mengenai sifat-sifat realitas fisik itu konsisten secara logis, berjalan sesuai dengan pengalaman. Norma ini tidak menyebutkan bahwa apa yang kita katakan haruslah sesuatu yang mirip “realita”.

Jika demikian yang dituntut, kadang kita harus memperkosa alam realitas, memaksakan keadaan sebenarnya agar sesuai dengan idea atau norma yang telah disepakati (dari realitas ke otak).

Ajaran Islam memandang bahwa Allah yang menciptakan alam semesta. Allah menjadi penyebab segala sesuatu dan mewujud (baik wujud itu bisa dilihat maupun yang tak terlihat seperti jin dan malaikat). Di dalam Qur’an disebutkan bahwa Allah menjadikan sesuatu, manusia dari ketiadaan (S. Maryam: 9 dan 67). Bahkan Allah yang memelihara dan mengulangi penciptaan itu sendiri tanpa ada yang membantu-Nya dan sekaligus memperindahnya.

Apakah memang umat Islam demikian adanya menerima keyakinan tersebut? Dalam literature keislaman tidak ada yang mempersoalkan dengan masalah wujud Allah, baik mutakallimun maupun umat Islam secara keseluruhan tak ada yang menyangkal mengenai keberadaan Allah itu sendiri, Dia memang ada. Toh, kalaupun ada, umumnya hanya berkisar pada argumentasi bagaimana membuktikan wujud Allah.

Al Jawr al fard (subtansi dan aksiden) dipandang sebagai argument tentang wujud Allah. Tetapi, argument ini banyak menimbulkan perbedaan yang cukup serius dikalangan filsuf Islam. Ibnu Rusyd sendiri mengkritik konsep ini, menurutnya konsep ini bukan dari Islam tetapi berasal dari Yunani yang disodorkan oleh Demokritos. Menurut Demokritos, asal kejadian alam adalah atom. Dalam sejarahnya, pemikiran ini membawa pengingkaran terhadap Tuhan, atau setidaknya tidak menyinggung adanya wujud Tuhan.

Pemahaman-pemahaman tentang yang baru dan yang dahulu (bukan lama), yang mumkin dan yang wajib, ‘illah dan ma’lul adalah teoritis murni untuk menetapkan inisial yang pertama bagi esensi Tuhan, yaitu eksistensi (wujud). Penetapan inisial ini diselesaikan dengan dua jalan: pertama, pembatalan siklus dan rangkaian. Sehingga tidak mungkin suatu benda pada waktu yang sama adalah kesan sekaligus yang dikesankan, dan tidak mungkin rangkaian argumentasi itu sampai pada sesuatu yang tidak berhingga; kedua, penetapan keharusan yang ada (wajib wujud). Sebab mustahil mengkonsepsikan sesuatu yang mungkin tanpa keharusan, sebagaima mustahil mengkonsepsiakn sesuatu yang baru tanpa yang dahulu. Dalam Islam, Allah adalah yang qodim, dahulu bukan hadist (baru). Dahulu berarti tanpa permulaan. Esensi yang dahulu adalah yang azali, yang tidak mempunyai permulaan. Abadi berarti tida berakhir. Esensi yang abadi adalah yang tidak berhingga dan tidak akan diikuti oleh ketiadaan.

Mempercayai Tuhan sebagai pencipta alam semesta tidak hanya didasarkan oleh bukti-bukti indrawi atau hanya menitik beratkan pada pengalaman indrawi, sebagaimana spirit pengetahaun modern. Islam berpandangan bahwa di balik yang indrawi ada cakrawala baru— cakrawmal realitas yang transenden. Islam menerima bahwa yang inderawi adalah nyata, tetapi Islam tetap mempertahankan bahwa yang inderawi atau empiris bukanlah satu-satunya realitas. Realitas yang transenden ini bisa dipahami, menurut M. Iqbal, melalui pengalaman yang luar biasa yang disebut intuisi. Jadi, dengan intuisi objek pengetahuan dapat dipahami secara langsung sebagai sesuatu di atas sana. “Tuhan bukanlah entitas matematis atau sebuah system konsep yang saling berhubungan satu sama lain dan tidak berkaitan dengan pengalaman. Dia adalah suatu wujud objektif yang konkret dan bisa dipahami oleh hati karena Tuhan bukanlah konsepsi melainkan persepsi.

Memang sangat naïf bila hendak membuktikan apakah Tuhan memang sebagai pencipta alam semesta, sedangkan alam semesta itu sendiri direduksi hanya berawal dari atom-atom. Padahal atom yang dipopulerkan oleh Demokritos dan Leukippos sebenarnya hanyalah merupakan entitas hipotetis. Hipotetis yang dimuat ini mempunyai tujuan agar observasi eksperimental terjelaskan. Hingga hari ini, tidak ada orang yang pernah melihat sebuah atom. Namun kita sudah terbiasa dengan pemikiran bahwa atom merupakan sesuatu sehingga kita lupa bahwa atom itu sendiri merupakan sesuatu ide.

Teori mekanika kuantum dibangun karena ada harapan ingin menjelaskan segala sesuatu dengan sangat tuntas hingga tidak ada lagi yang tidak terjelaskan (termauk Tuhan itu sendiri?). tentu saja hal ini tidak berarti bahwa penjelasan tersebut dapat merefleksikan bagaimana segala sesuatu itu sesungguhnya. Tetapi, teori kuantum hanyalah sebagaian teori yang ingin memahami jagad raya dengan harapan bisa menghantarkan pada Tuhan. Apabila ditengah atau diujung perjalanan teori tersebut tidak bisa menunjukkan Tuhan, mungkin inilah batas teori tersebut, artinya tidak ada segi yang tak terungkap oleh ilmu pengetahuan atau batas ideal ilmu pengetahuan (the ideal of knowledge).

Lalu bagaimana kita bisa mengerti Tuhan? Jawaban pertanyaan ini mungkin bisa terobati dengan ungkapan al-Ghozali: “jika bukan karena kasih sayang Tuhan, manusia tidak mampu mengetahui tuhannya. Tak seorang pun yang dapat mengetahui Tuhan kecuali Tuhan itu sendiri.” Maka, gapailah kasih sayang Tuhan itu, kelak engkau akan menemukannya.

Tuhan ada atau tak ada, tak mesti jadi pertanyaan, karena niscaya anda Tahu, Tuhan sangat bisa anda lihat dengan jelas, dengan mata anda sendiri, bahkan bisa anda katakana saintific dan empiric karena lebih nyata ketimbang apapun yang bisa anda lihat dengan mata fisik dan mata nalar-kerjakanlah ini, dan lihatlah dengan mata batin; mata batin anda, yang dengannya anda melihat, dan Tuhan melihat anda. Wa allahu a’lam.

Daftar Pustaka

Capra, Frijof. 2006. The Tao of Fisik, Menyingkap Kesejajaran Fisika dan Mistisisme Timur. Yogyakarta: jalasutra.

Davies, Paul. 2002. Tuhan, Doktrin dan Rasionalitas. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Hanafi, Hasan. 2007. Islamologi. Yogyakarta: LKiS

Zukaf, Gary. 2003. Makna Fisika Baru dalam Kehidupan, The Dancing Wu Li Master. Yogyakarta: Tiara Wacana.

[caption id="attachment_98076" align="aligncenter" width="189" caption="sumber gambar: kikilwedus.blogspot.com"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun