Mohon tunggu...
Kartika E.H.
Kartika E.H. Mohon Tunggu... Wiraswasta - 2020 Best in Citizen Journalism

... penikmat budaya nusantara, buku cerita, kopi nashittel (panas pahit kentel) serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Parameter Idiomatik "Bener tur Pener" dalam Seni Mengkritik

11 Februari 2021   10:15 Diperbarui: 11 Februari 2021   10:38 1339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bener tur Pener | Twitter/@Rohmat84652773 

Memang Ada, Orang Mau Dikritik?

Kalau mau jujur, sepertinya tidak ada deh manusia di muka bumi ini yang dengan sadar, legowo dan ikhlas bener-bener mau untuk dikritik, kalaupun ada orang yang mau dan bisa menerima kritikan, umumnya selain karena berada dalam posisi "terpaksa" bisa juga karena "dipaksa" dan biasanya yang begini pasti orang-orang yang bergaining power-nya relatif rendah/lemah, nggak punya pilihan lain karena nggak punya independensi, misal posisi bawahan, posisi pembantu/jongos dan sejenisnya.

Sedangkan adanya fenomena "minta dikritik" (yang biasanya di embel-embeli dengan tambahan kata "membangun")  dari pejabat dan atau lembaga, terutama yang terkait posisinya sebagai "pelayan publik", itu bukan dari hati nurani "pribadi" pejabatnya yang benar-benar minta dikritik, tapi lebih sebagai konsekuensi dari jabatanya. Seandainya si pejabat tidak dalam posisi sebagai pejabat publik, yakin dah tidak akan minta dikritik, apalagi secara terbuka! 

Memang, karena diantara keduanya tidak ada marka pembatas yang jelas, membuat kita relatif sulit mengenali gejala ini, kecuali si empunya membuat pengakuan.

Jadi pernyataan minta dikritik dari pejabat dan atau lembaga-lembaga yang terkait aktifitas layanan publik, sebenarnya tidak lebih dari sekedar menjalankan etika rule of game dari sebuah tradisi, kebiasaan-kebiasaan yang terlanjur menjadi semacam konvensi alias peraturan tidak tertulis yang wajib diikuti dan dijalankan oleh pejabat pemangkunya (bakan ada teman saya yang menyebutnya sekedar lip service lho!)

Hipotesis diatas bisa jadi sangat subyektif, tapi subyektifitas yang sepertinya  diakui keumumannya, apalagi jika kita "berkaca" dari pemaparan ilmiah dari dosenpsikologi.com yang menyebutkan dalam ilmu psikologi, sebuah kritikan diyakini sangat berpotensi memberi pengaruh besar terhadap kesehatan mental. Uniknya, pengaruh yang ditimbulkan semuanya lebih mengarah ke efek negatif, seperti menjadikan berkecil hati, tertekan, memicu perselisihan, mengurangi semangat, menjadi lebih cuek dan suka abai, semakin tidak peduli, sulit mengenali emosi, dan cenderung mudah cemas.

Nah lho, masih ada manusia yang mau dikritik!?

Yang Benar Belum Tentu Tepat | Twitter/@Rohmat84652773
Yang Benar Belum Tentu Tepat | Twitter/@Rohmat84652773

"Bener tur Pener"

Kalo gitu, kritik  dan mengkritik tidak bagus dong!?

Memang harus diakui, semua sangat tergantung pada niat, motivasi dan tentunnya cara atau metode penyampaian kritiknya!

Karena rutinitas yang berjalan secara kontinyu, kadang-kadang membutakan kita pada penyimpangan-penyimpangan yang awalnya dianggap kecil dan remeh temeh tapi kalau dibiarkan lama kelamaan bisa menjadi besar dan sangat membahayakan semua pihak. Pada momentum seperti inilah kita memerlukan kritikan dan masukan yang bersifat membangun, karena biasanya hanya "orang luar" yang relatif bisa melihat dengan segera penyimpangan-penyimpangan dalam aktifitas rutin kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun