Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pencabutan Subsidi Listrik Bisa Tingkatkan Jumlah Penduduk Miskin

18 Juni 2017   12:23 Diperbarui: 22 Juni 2017   17:36 2131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas PLN Bandengan mendata aliran listrik di kawasan Kalijodo, Tambora, Jakarta Barat. | KOMPAS.com KAHFI DIRGA CAHYA

Sepanjang tahun ini, pemerintah telah menaikkan tarif listrik sebanyak tiga kali untuk pelanggan berdaya 900 VA, yakni pada 1 Januari, 1 Maret, dan 1 Mei. Dari tiga kali kenaikan tersebut, tarif listrik yang semula Rp605/kwh naik menjadi Rp1.352/kwh atau mengalami kenaikan lebih dari 100 persen. Pada Juli nanti pemerintah kabarnya akan kembali menaikkan tarif listrik untuk pelanggan 900 VA.

Kenaikan ini hanya menyasar golongan mampu (kelas menengah). Di Indonesia, jumlah pelanggan listrik berdaya 900 VA mencapai 22,9 juta rumah tangga (KOMPAS.com, 14 Juni). Berdasarkan hasil kajian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dari total jumlah tersebut, hanya sebanyak 4,1 juta rumah tangga yang layak menerima subsidi. Sebanyak 18,8 juta rumah tangga sisanya termasuk dalam kategori mampu dan tidak layak menerima subsidi.

Karena itu, untuk pelanggan 900 VA, kenaikan tarif listrik hanya akan dibebankan kepada 18,8 juta rumah tangga mampu sementara 4,1 juta rumah tangga sisanya bakal tetap menerima subsidi listrik. Subsidi juga akan tetap diberikan kepada 23 juta rumah tangga pelanggan berdaya 450 VA.

Seperti halnya penghapusan subsidi bahan bakar minyak, kenaikan tarif listrik tentu bukanlah kebijakan yang populis karena sudah pasti bakal membebani masyarakat. Makanya, saat kampanye pemilihan presiden, semua calon—termasuk pasangan Jokowi-JK—menyatakan komitmen untuk tidak menaikkan tarif listrik bahkan kalau perlu diturunkan.

Meski dinyatakan hanya bakal menyasar golongan mampu, kenaikan tarif listrik tetap saja dikeluhkan oleh sebagian besar masyarakat yang terkena dampak. Apakah kenaikan tersebut hanya akan dirasakan oleh golangan mampu? Hal ini juga belum bisa dipastikan. Terkait hal ini, akurasi hasil kajian yang dilakukan oleh TNP2K di atas, yang digunakan pemerintah sebagai input kebijakan, menjadi sangat krusial.

Penggolongan rumah tangga ke dalam kelompok mampu dan tidak mampu bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena lazimnya menggunakan metode statistik yang tidak bersih dari galat (error), kesalahan klasifikasi bakal selalu terjadi. Di sini akurasi data sangat menentukan, kesalahan klasifikasi akan semakin besar jika akurasi datanya relatif lemah dan dipaksakan.

Sepanjang yang penulis pahami, TNP2K membutuhkan data mikro yang memotret kondisi sosial ekonomi rumah tangga untuk sampai pada kesimpulan bahwa 18,8 juta rumah tangga pelanggan listrik 900 VA tidak pantas menerima subsidi karena terkategori mampu. Terkait hal ini, ada dua sumber data yang bisa digunakan, yakni hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2015 atau hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan secara rutin dua kali dalam setahun. Sayangnya, tak ada satupun dari kedua sumber data tersebut yang memuat informasi mengenai daya listrik yang terpasang di rumah tangga. Informasi ini dimiliki oleh PLN.

Dalam hal ini, ada dua informasi yang perlu dipadankan, yakni kondisi sosial-ekonomi rumah tangga dan daya listrik yang terpasang di rumah tangga. Output dari pekerjaan memadankan (matching) kedua informasi ini sangat menentukan apakah penghapusan subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA tepat sasaran.

Terlepas dari asal-muasal angka rumah tangga mampu dan tidak mampu tersebut, satu hal yang pasti adalah rentetan kenaikan tarif listrik sepanjang Januari hingga Mei 2017 berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin.

Sumber: gaikindo.or.id
Sumber: gaikindo.or.id
Mengapa?

Seperti yang disampaikan oleh ahli statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS), Jousairi Hasbullah, kenaikan tarif listrik akan mendorong kenaikan garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan jumlah pengeluaran minimum (per kapita per bulan) yang digunakan untuk mengklasifikasikan individu termasuk miskin atau tidak.

Diketahui, kontribusi pengeluaran listrik terhadap garis kemiskinan cukup signifikan. Di perkotaan, pengeluaran untuk listrik menyumbang sekitar 2,86 persen terhadap garis kemiskinan pada September 2016, atau menempati posisi kedua untuk kelompok non-bahan makanan setelah pengeluaran untuk perumahan (9,81 persen). Adapun di daerah pedesaan, sumbangsih pengeluaran listrik terhadap garis kemiskinan mencapai 1,59 persen, atau menempati posisi ketiga setelah pengeluaran untuk perumahan (7,63 persen) dan bensin (2,31 persen).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun