Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama FEATURED

Mengapa Indonesia Sulit Sekali Swasembada?

13 Juni 2016   14:33 Diperbarui: 17 Januari 2018   06:37 1861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: greeners.co

Kita memiliki harga diri yang tinggi sebagai negara agraris. Karena itu, importasi komoditas pangan, terutama yang bisa dihasilkan oleh petani kita, merupakan sebuah aib dan cela.

Tengok saja komoditas beras. Pro dan kontra di berbagai media acapkali mewarnai debat publik terkait importasi komoditas ini. Sebagai sumber utama pemenuhan karbohidrat masyarakat Indonesia, boleh dibilang beras merupakan komoditas pangan paling strategis yang kerap membikin gaduh negeri ini.

Data statistik memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi beras mencapai lebih dari 80 persen. Itu artinya, hampir seluruh masyarakat Indonesia mengandalkan beras sebagai makanan pokok dan sumber karbohidrat. Tidak mengherankan kalau ungkapan “bukan makan namanya, kalau tanpa nasi” acap kali kita dengar untuk menekankan pentingnya posisi beras dalam pola diet masyarakat Indonesia.

Impor beras tidak hanya menyangkut harga diri sebagai bangsa agraris, tapi juga nasib belasan juta rumah tangga petani padi yang kepulan asap dapurnya sangat bergantung pada perkembangan harga gabah.

Jika impor beras dilakukan saat produksi padi petani kita melimpah, harga gabah bakal jatuh. Hasil panen padi pun bisa jadi tidak mampu menutupi biaya produksi. Kalaupun untung, keuntungan yang diperoleh kemungkinan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Karena itu, slogan swasembada beras merupakan harga mati dan selalu menjadi agenda prioritas pembangunan nasional. Upaya yang dikerahkan untuk mewujudkan swasembada beras juga tidak main-main. Triliunan rupiah telah digelontorkan pemerintah hanya untuk sekadar meningkatkan produksi padi nasional.

Sayangnya, meski pemerintah telah berupaya maksimal dengan mengalokasikan sumber daya yang tidak sedikit, swasembada beras masih jauh panggang dari api. Faktanya, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), tahun lalu impor beras nasional mencapai 0,86 juta ton. Tahun ini angkanya dipastikan lebih tinggi lagi. Betapa tidak, realisasi impor beras sepanjang Januari-April saja sudah menyentuh 1,02 juta ton.

Persoalan yang terjadi pada komoditas pangan lainnya, seperti jagung dan kedelai juga setali tiga uang. Swasembada baru sekadar mimpi. Untuk komoditas kedelai bahkan masalahnya lebih akut. Bayangkan, 60 persen kebutuhan kedelai nasional dipenuhi dari impor. Kita mungkin bangga dengan panganan lokal tempe-tahu. Tapi apalah artinya kebanggaan itu jika bahan bakunya diimpor dari Amerika Serikat, transgenik pula.

Mengapa swasembada beras dan juga komoditas tanaman pangan lainnya begitu sulit kita rengkuh? Artikel singkat ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menguraikan salah satu kendala utama yang merintangi jalan menuju swasembada: daya dukung petani yang rendah.

Tak bisa dipungkiri, petani kita sejatinya merupakan aktor utama dalam mewujudkan swasembada pangan. Tanpa mereka, tak usah bermimpi untuk swasembada. Sayangnya, dewasa ini daya dukung mereka tidak optimal karena jeratan kemiskinan, umur yang kian tua, dan kapabilitas yang rendah.

Hingga kini, sektor pertanian masih menjadi pusat kemiskinan. BPS mencatat, sekitar 63 persen penduduk miskin negeri ini merupakan masyarakat pedesaan. Sementara hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional memperlihatkan bahwa mayoritas rumah tangga miskin (67,26 persen) di daerah pedesaan merupakan rumah tangga dengan lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga di sektor pertanian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun