Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketulusan JK

31 Mei 2013   15:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:44 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini hanya semata-mata didasarkan pada kekaguman. Tak ada maksud penulis untuk turut meramaikan geliat politik menjelang 2014.

Banyak orang bilang, dewasa ini kita sedang mengalami krisis negarawan. Yakni, kelangkaan sosok politisi dan pejabat publik yang menempatkan kepentingan rakyat serta bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan golongan atau partainya.

Di ranah politik, misalnya, di negeri ini terlalu banyak politikus ketimbang politisi. Politikus tentu berbeda dengan politisi. Politikus adalah politisi yang padanya melekat stigma negatif dunia politik yang penuh dengan tipu-tipu, korupsi, intrik dan penelikungan, serta syahwat perburuan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Pendek kata, sesuai namanya, analogi yang tepat untuk seorang poli-tikus adalah seekor tikus yang rakus, merusak, dan berbahaya.

Di masa-masa lawas, ketika negeri ini masih mencari bentuknya yang pas, kita banyak memiliki politisi dengan cita rasa negarawan. Salah satu di antaranya adalah Mohammad Natsir. Tokoh asal Alahan Panjang, Sumatera Barat, ini terkenal dengan Mosi Integral-nya yang berhasil menyelematkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari kehancuran (semangat disintegrasi). Menurut hemat penulis, sedikitnya ada tiga hal yang paling menonjol dari Natsir sebagai seorang negarawan, yakni kesantunan, kesederhanaan, dan ketidaktamakannya pada jabatan dan kekuasaan.

Dalam soal kesantunan, Natsir diakui oleh kawan dan lawan politiknya. Ketika memimpin sidang-sidang Konstituante yang selalu berlangsung alot dan menjurus panas, kesantunan Natsir dalam berpolitik telah berhasil meredam gesekan idiologis antara elit-elit politik kala itu yang terkotak-kotak ke dalam faksi-faksi: nasionalis Islam, nasionalis Kristen, nasionalis, dan komunis. Kesantunan Natsir tidak hanya dalam berpolitik, dalam kehidupan sehari-hari, pentolan Partai Masyumi ini adalah pribadi yang santun dalam budi dan tutur katanya.

Dalam soal kesederhanaan Natsir, cukuplah pengalaman seorang profesor dari Cornell University, Amerika Serikat, sebagai penggambarannya. Saat berjumpa dengan Natsir, sang profesor sangat terkesan—mungkin juga sangat prihatin—kerena baru pertama kali menyaksikan seorang pejabat negara, perdana menteri pula, mengenakan jas usang dan bertambal.

Soal ketidaktamakan Natsir terhadap kekuasaan dan jabatan telah ditunjukkannya saat mengundurkan diri dari posisi perdana menteri. Padahal, masa jabatannya kala itu belum genap dua tahun. Ketika mengundurkan diri, ia diantar oleh sopirnya dengan mobil dinas ke rumah Presiden Soekarno. Setelah Natsir menyampaikan pengunduran dirinya secara langsung, ia kemudian pulang ke rumahnya dengan mengendarai sepeda ontel. Dan, hari itu juga, ia dan keluarganya segera berkemas untuk meninggalkan rumah dinasnya.

Dewasa ini, sosok politisi dengan citarasa negarawan seperti Natsir sangat jarang di negeri ini. Memang ada, tapi sangat langka. Dan, salah satu politisi dengan citarasa negarawan itu adalah mantan wakil presiden Muhammad Jusuf Kalla atau kerap disapa JK. Seperti halnya Natsir, kesantunan, kesederhanaan, dan mungkin juga ketidaktamakan terhadap kekuasaan juga bisa dijumpai pada diri JK.

Yang membedakan JK dengan Natsir adalah kekuatan materi (kekayaan) yang dimiliki oleh pria asal Watampone, Sulawesi Selatan, ini. Berbeda dengan Natsir yang hidup dalam kebersahajaan sebagai seorang perantau dari Minang, selain politisi, JK juga adalah seorang pengusaha sukses yang berlimpah materi: kaya raya. Kondisi ini menjadikan JK bisa melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh Natsir, yakni menjadi seorang dermawan—dengan kekayaan melimpah—bagi negaranya. Namun demikian, sisi positif dari Natsir dalam hal ini adalah ia tidak tergoda untuk memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri dan keluarga seperti yang jamak dilakukan oleh banyak pejabat di negeri ini. Natsir tetap konsisten dalam kebersahajaannya.

Belum lama ini, JK baru saja dinobatkan oleh majalah Forbes sebagai salah satu dari 48 takoh paling dermawan di kawasan Asia-Pasifik. JK dianggap memiliki kontribusi yang mangesankan bagi kemanusiaan melalui kiprahnya dalam memimpin Palang Marah Indonesia (PMI). Di bawah kepemimpinannnya, PMI berhasil meningkatkan stok darah untuk memenuhi kebutuhan darah nasional. Kiprah yayasan yang didirikan JK, Kalla Foundation, juga mendapat catatan khusus dari Forbes. Tahun lalu, yayasan ini telah mendonasikan sebesar 1,3 juta dolar AS untuk membiayai pendidikan gratis bagi anak-anak di Bone, Sulawesi Selatan.

Orang dermawan tentu penuh ketulusan dalam membantu. Sesuatu yang sulit dilakukan oleh seorang politisi kecuali ia benar-benar seorang negarawan. Dan sebagai seorang politisi, tentu wajar jika orang bertanya, apakah JK benar-benar tulus dengan kedermawanannya, apakah segala sesuatu yang telah dilakukannya selama ini benar-benar atas nama kemanusiaan dan pengabdian kepada bangsa dan negara, lepas dari motif politik: mengejar kekuasaan?

Soal ketulusan ini tentu hanya JK dan Tuhan yang tahu jawabannya. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun