Salah satu komponen input dalam kegiatan usaha tanaman pangan (padi, jagung, dan kedelai) adalah bahan bakar minyak (BBM). BBM digunakan untuk traktor pada saat pengolahan lahan dan pompanisasi (pengairan dengan pompa) untuk kegiatan budidaya yang dilakukan di sawah tadah hujan, yang tidak memiliki irigasi.
Karena itu, jika rencana pemerintah mendatang untuk menaikkan harga BBM direalisasi, hal ini dapat dipastikan bakal berdampak pada kehidupan atau tingkat kesejahteraan petanitanaman pangan, utamanya petani yang menggunakan BBM dalam jumlah yang cukup besar sebagai input produksi.
Kenaikan harga BBM sudah pasti bakal mengerek ongkos produksi karena peningkatan pengeluaran untuk BBM. Jika hal ini tidak diimbangi dengan peningkatan harga produk pertanian yang dihasilkan petani, pendapatan dari kegiatan usaha tani akan berkurang.
Di sisi lain, jika BBM naik, pengeluaran petani tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga bakal naik. Seperti diketahui, kenaikan harga BBM juga bakal diikuti lonjakan inflasi yang digerakkan oleh kenaikan ongkos angkutan dan harga-harga bahan makanan/makanan jadi yang rantai produksi dan distribusinya menggunakan BBM. Akibatnya, daya beli petani tanaman pangan bakal tergerus.
Kombinasi penurunan pendapatan dari kegiatan usaha tani dan daya beli yang tergerus tentu saja akan menurunkan tingkat kesejahteraan petani. Penurunan ini biasanya tercermin dari pergerakan indeks Nilai Tukar Petani (NTP), yang merupakan rasio antara indeks yang diterima petani dan indeks yang dibayarkan petani.
Namun demikian, kita sebetulnya tak perlu terlalu risau. Fakta di lapangan menunjukkan, petani kita ternyata sudah cukup cerdas dan siap untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM dengan berbagai alternatif. Salah satunya adalah penggunaan gas LPG tabung ukuran 3 kilogram, yang biasa dipakai untuk memasak, sebagai pengganti BBM (bensin atau solar). Penggunaan gas LPG sebagai pengganti BBM, antara lain, bisa dijumpai di Kecamatan Botonompo Selatan, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan.
Sebagain besar petani tanaman pangan di Kecamatan tersebut mengandalkan pompa agar bisa melakukan penanaman sebanyak tiga kali dalam setahun. Dulu semua pompa petani menggunakan bensin. Tapi saat ini, banyak petani yang sudah menggunakan gas LPG sebagai pengganti bensin.
Penggunaan gas LPG ternyata bisa menghemat biaya pompanisasi, terutama jika penanaman dilakukan pada musim kemarau yang membutuhkan lebih banyak air. Hasil wawancara penulis dengan petani menunjukkan, penghematan ongkos pompanisasi bisa mencapai 60 persen bila menggunakan gas LPG. Menurut informasi dari petani, untuk sekali pompanisasi, 1 hektare lahan sawah rata-rata menghabiskan 5-15 liter bensin. Sementara jika menggunakan gas, 1 hektare lahan hanya membutuhkan 1-2 tabung gas LPG ukuran 3 kilogram. Padahal, harga bensin di Kecamatan Botonompo Selatan sebesar Rp7.000 per liter, sementara harga gas LPG ukuran 3 kilogram sebesar Rp16.000 per tabung.
Penggunaan gas LPG sebagai pengganti BBM tentu merupakan solusi cerdas, dan semoga bisa dicontoh oleh para petani di daerah lain. (*)