Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menulis untuk Keabadian

29 September 2012   15:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:29 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer).

Tak terasa 30 September lagi, dan kali ini merupakan ulangan yang ke 47. Ingatan kita tentu bakal kembali tertuju pada apa yang terjadi 47 tahun silam. Tentang potret suram nan kelam perjalanan panjang sejarah negeri ini, tentang bagaimana darah anak negeri tumpah hanya untuk kemenangan sebuah idiologi: komunis.

Terlepas dari segala kontroversi sejarah di balik apa yang terjadi kala itu, peristiwa–yang lebih dikenal dengan G30S PKI–tersebut telah memakan begitu banyak korban. Tidak hanya para jenderal yang disiksa dan dibunuh secara tragis oleh para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian ditanam di sebuah sumur tua di Desa Lubang Buaya, tetapi juga ribuan orang tak bersalah yang dituduh terlibat atau bersangkutpaut dengan peristiwa yang telah menodai keagungan Pancasila tersebut. Mereka mengalami penderitaan tak terperi selama rezim Orde Baru, dikucilkan secara sosial dan politik, serta harus menghabiskan separuh –bahkan seluruh – hidup mereka di balik jeruji besi.

Salah satu korban kelaliman rezim Orde Baru tersebut adalah sastrawan besar negeri ini, yang karena karya-karyanya telah berulangkali mendapat nominasi sebagai pemenang hadiah nobel bidang sastra: Pramoedya Ananta Toer alias Pram. Karena dituduh terlibat dalam G30S PKI, Pram harus menghabiskan 14 tahun hidupnya di penjara.

Selama hampir satu setengah dasawarsa tersebut, Pram telah merasakan kerasnya kehidupan di berbagai penjara terburuk negeri ini. Pulau Nusa-Kambangan (Juli 1965-Agustus 1969), Pulau Buru (Agustus 1969-November 1979), dan Magelang/Banyumanik (November-Desember 1979) adalah rangkaian perjalanan panjang yang harus dilalui Pram karena sangkaan sebagai antek komunis. Tragisnya, separti kebanyakan tahanan politik lainnya, semua itu harus dijalaninya tanpa melalui proses pengadilan.

Pram baru menghirup udara bebas di penghujung tahun 1979 setelah mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI pada tanggal 12 Desember. Itupun, Pram tidak bebas sepenuhnya. Karena masih harus menjalani tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara sampai tahun 1999, dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih dua tahun.

Menulis untuk keabadian

Himpitan dan kesulitan hidup terkadang justru membuat seseorang mampu mengeluarkan segala potensi dan kemampuan terbaik yang dimiliki. Dan itulah juga yang terjadi pada Pram. Justru pada masa-masa suram di dalam penjara itulah karya-karya hebat dan fenomenal lahir dari tangannya yang lihai dalam mengolah kata.

Salah satu karya Pram yang begitu fenomenal adalah Tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Tetralogi Buru ditulis oleh Pram saat dia menjalani hukuman penjara di Pulau Buru, Maluku. Tetralogi tersebut telah dialihbahasakan ke dalam berbagai bahasa, dan telah mengantarkan Pram menerima berbagai penghargaan yang bukan main banyaknya dari berbagai penjuru dunia.

Saat ini, saya sedang menuntaskan membaca novel keempat dari Tetralogi Buru: Rumah Kaca. Novel yang betul-betul bermutu tinggi karena didasarkan pada penelisikan Pram terhadap berbagai dokumen kuno jaman kolonial. Anda yang membaca novel setebal 646 halaman itu dijamin bakal larut sedemikian rupa, dibawa oleh Pram mundur 100 tahun ke belakang untuk merasakan langsung masa-masa kala benih-benih pergerakan nasional mulai disemai.

Saat membaca novel tersebut, kita bakal merasa sedang belajar sejarah dengan cara yang berbeda. Dengan cara bertutur Pram lewat rakitan kata-katanya, sejarah yang di bangku sekolah hanya berisi kisah generasi lalu yang monoton dan membosankan menjadi lebih hidup dan menarik untuk disimak. Jujur, saya sendiri benar-benar larut dalam alur cerita yang memikat.

Rumah Kaca tentu hanyalah salah satu dari sekian banyak novel yang telah ditulis oleh Pram. Dan semua karyanya tersebut telah mengantarkan Pram menduduki singgasana sebagai sastrawan besar, tidak hanya bagi negeri ini, tetapi juga Asia bahkan Dunia.

Pram telah menulis apa yang hendak dia tulis. Pram juga telah mempunyai apa yang ingin dia punya. Dia telah menjadi bagian dari sejarah yang tak akan terlupakan, dan namanya akan abadi bersama karya-karyanya. (*)

Referensi:

(1)Pramoedya Ananta Toer: Rumah Kaca.

(2)Prof. Koh Young Hun: Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun