Mohon tunggu...
Kay Ikinresi
Kay Ikinresi Mohon Tunggu... Guru - Inspirator

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pesta Demokrasi atau Pertandingan Demokrasi ?

30 Januari 2018   11:03 Diperbarui: 27 September 2018   08:07 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saudara-saudariku, sesama warga Negara Indonesia. Teman-teman pemilik nurani dan Negeri Tercinta ini. Saat ini kita sedang berada dalam nuansa politik. Kita sedang menyongsong hari yang diperkenalkan kepada kita sebagai Pesta Demokrasi. Pada tahun ini, 2018, dan tahun depan, 2019, kita akan menjadi tuan rumah, pelaku dan saksi Pesta ini. Namun sebelum hari-hari itu tiba, izinkanlah saya, teman dari teman Anda, sahabat dari sahabat Anda,  sesama warga Negara Anda, mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini untuk kita renungkan dan kritisi bersama. Saya menyadari bahwa hati Anda pernah mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting  ini. Apakah benar bahwa Pemilihan Umum (PEMILU) atau Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) adalah pesta kita ? Apa yang kita rayakan dalam pesta ini ? Apakah kita merayakan kemenangan suara hati kita kah ? atau  kekalahannya ?

Pasti, sahabat-sahabat sekalian telah merasakan, melihat dan mendengar bahwasanya pesta Demokirasi telah menjadi kesempatan di mana tumbuh  dan menjamurnya kebencian, iri hati, dan dengki di tanah air kita. PEMILU telah menimbulkan "kepiluan kesatuan" dalam rakyat kita. Dan PILKADA telah menjadi momen yang menjadikan kita semua mengalami "pilek" kerukunan. Semangat untuk mengalahkan "lawan politik" sudah  nyaris menjadi kewajiban yang mendaging dalam diri kita. Menjadi pemenang untuk mereka yang bertanding itu  wajar. Namun tidak wajar bila berusaha merebut kemenangan dengan memporak-porandakan perdamaian rakyat. Juga mendapatkan kekalahan itu pun lumrah. Namun tidak baik bila diterima dengan dendam dan kebencian. Maka pantaskah kita menyebut saat ini sebagai pesta ? Atau pantas bila kita menggaung bersama bahwa ini hanyalah " Pertandingan Demokrasi" ? Tentu saja kepala Anda mengangguk dan mengiyakan hal ini. Sebab sekarang Anda mulai menyadari kebenaran dari saat "Pertandingan Demokrasi" ini.  Mungkin Anda mulai menyadari bahwa ternyata kita, rakyat, telah digiring untuk bertanding dengan sesama rakyat kita. Bahkan tanpa sadarpun, kita didesak untuk bertanding dengan diri kita sendiri.

Bertanding dengan diri sendiri menjadi hal yang harus ditegaskan dan dijelaskan lebih dahulu. Sebab ini sanga penting. Bahwa "suara hati" yang adalah inti dan harga diri kita terkadang bahkan sudah tercederai oleh uang, harta, jabatan dan egoisme. Keputusan mengarahkan "paku" pada gambar pilahan politik kita sangat didasari oleh hal-hal tersebut. Anda tentu setuju dengan saya mengenai hal ini. Karena terkadang kita mengabaikan dan menggadaikan suara hati (harga diri) kita untuk sekian janji politik yang muluk. Juga karena "rasa malu dan berdosa" kita bila tidak memilih mereka yang telah menyerahkan uang, barang, dan jabatan tersebut. Atau juga karena adanya "ketakutan" dalam diri akan raibnya jabatan, pekerjaan, dan sumber penghasilan kita. Efek dari hasil pertandingan dengan diri sendiri sangat nyata. Bukankah banyak dari antara kita yang kecewa dan menyalahkan diri sendiri taktala mendapati "pilihan politiknya" tidak mengindahkan dan memenuhi janji politiknya ? Bukankah banyak dari antara kita yang menyumpahi dan mengutuki "pilihan politiknya"  karena tidak mau dan mampu mewakili dan menyuarakan suara dan hak "kerakyatan" kita ?  Kita menjadi kalah dalam kandang diri kita sendiri.

Hal ini sebanding dengan pertandingan kita dengan sesama rakyat kita. Lihat, dengarkan, dan rasakanlah pengalaman "kerakrayatan" kita usai pesta itu digelar. Lihatlah pemandangan pertikaian, pertempuran dan kerusuhan terjadi keluarga, desa, kota dan Negara kita sesuai momen itu. Dengarkan suara pekikan permusuhan dan jeritan kidung balas dendalam dari dalam hati dan mulut sesama kita yang berbeda pilihan.  Rasakan sentuhan dan aroma geliat perpecahan negeri saat kesempatan ini dimulai dan berakhir.

Jangan konyol. Juga jangan bodoh. Sadarlah saudara-saudariku, pemilik negeri ini. Kita mungkin sudah dijebak dan terjebak dalam lingkaran ketidak sadaran politik. Sudah sekian lama kita disuguhi politik yang terlilit identitas dan kepentingan. Dan kita diyakinkan untuk menerimanya sebagai kebenaran. Namun kita sudah mencium bauhnya. Kita sudah melihat bangkainya. Dan kita sudah mendengar dengungan keberadaannya yang memperalat dan memperolok kerakyatan kita. Mungkin hal ini terjadi karena kita semua masih  "awam" dalam politik yang benar. Namun yang pasti kita "expert" dalam kerakyatan kita. Sikap Toleransi dan gotong royong telah kita kembangkan dan hidupi tanpa mahar politik. Semangat kesatuan dan persatuan tetap membahana dalam diri kita tanpa kampanye politik. Dan penghargaan dan penghormatan terhadap keanekaragaman kita telah kita perjuangkan dan pertahankan tanpa janji politik. Jadi jangan kita membiarkan semua hal baik dan mulia itu hilang karena "pertandingan demokrasi" itu.

Saudara-saudariku, teman-teman sebangsa dan negaraku, pintu gelanggang "pertandingan demokrasi" mulai dibuka. Pada saat yang sama, Anda mesti membuka "gerbang" sanubari Anda. Agar Anda mampu mendengarkan dan mengikuti suara hatimu dalam menentukan dan mengambil pilihan politikmu. Supaya Anda tetap tenang meskipun pilihan Anda menang. Dan harga diri Anda tetap menyala meskpun pilihan Anda kalah.

Pilihlah sesuai suara hati Anda. Karena suara hati Anda menangkap aroma kebaikan dalam diri sesamamu. Suara hati Anda mampu mendengarkan suara kebenaran dalam diri orang lain. Dan suara hati Anda mampu merasakan siapa yang pantas menjadi rakyat meskpin terpilih sebagai wakil rakyat.

Gunakanlah hak dan kewajiban Anda dengan benar dalam kesempatan itu. Karena saat itu adalah momen demokrasi Anda. Rugilah Anda bila Anda tidak menggunakannya atau hanya memilih sesuka hati Anda. Tetapi gunakanlah moment itu dan pililah sesuai suara hati Anda. Sebab ia mengetahui siapa yang baik, benar dan pantas dipercayai. Dengarkan, yakini dan ikutilah Dia. Yakinilah bahwa itu adalah pilihan hatimu.  SALAM MERDEKA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun