Nyata sudah Pemilu selesai,
Tetapi  bangsa takjua damai,
Meskinya kita kembali  suai,
Dengan merekat segala urai.
Harus diakui bahwa peradaban demokrasi Indonesia masih rendah. Buktinya hampir seminggu paska pemungutan suara, relasi kita sebagai warga bangsa yang dalam masa-masa kampanye terbelah pada dua kubu dan memanas belum juga berakhir.
Ejek mengejek dan olok-olok antar sesama warga bangsa masih saja berlangsung. Bukankah seharusnya kedua belah pihak kembali rukun, sabar menunggu hasil hitung KPU dan riang gembira menyambut pemimpin terpilih dengan suara terbanyak tanpa lagi mempermasalahkan siapapun orangnya.
Salah dua penyebab berlanjutnya keadaan buruk tersebut adalah lamanya proses penghitungan suara oleh KPU dan dirilisnya hasil quick count (QC) ke publik.
Beberapa fakta seputar QC.
Pilkada DKI :
Pemilih +/- 7,2 juta
Jumlah TPS = 15.059
Titik sampling = 400 TPS
Size of sampling 2,66 persen dari TPS.
Pilpres :
Pemilih +/- 185 juta
Jumlah TPS = 810.329 Â
Titik sampling = 1200 s.d 3000 TPS
Size of sampling dibawah 0,5 persen dari TPS.
Mari kita simulasikan fakta di atas dengan contoh sederhana.
Ada satu gudang  apel terisi penuh sebanyak 7,2 juta buah yang  terdiri dari apel warna merah & apel warna hijau dan tersimpan dalam 15.059 TPS ( titik penyimpanan sejuk ).
Untuk mengetahui berapa jumlah yang tepat ( realitas ) dari masing-masing apel ( merah dan hijau ) tentu satu-satunya jalan adalah menghitungnya buah demi buah.
Namun sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia menemukan ilmu statistik yang salah satu fungsi terapannya dapat digunakan untuk meramal sehingga suatu keadaan/realitas bisa diketahui secara lebih cepat.
Meski sifatnya ramalan atau prediksi namun tingkat akurasinya sangat tinggi sepanjang dilakukan secara jujur dan obyektif serta prosedur penelitiannya memenuhi kaidah-kaidah IP ( conditions of scientific term ).