Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Memaksa Kerbau untuk Mencintaimu

28 Desember 2019   08:24 Diperbarui: 28 Desember 2019   08:29 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: cjip.jatengprov.go.id

Cita-cita mendirikan pondok sudah dimulai. Sebagai modal awal, Gus Pri dan Nyai Hayat menyiapkan tanah 1.200 meter di Desa Ibul Besar II Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan. Selebihnya, masih ada lagi 1.500 meter yang sedang dibebaskan. Kalau sudah selesai, ada 1.800 meter yang siap diwakafkan. Tetapi, Gus Pri harus memulainya dengan area yang tersedia. Pertengahan 2020, segera dilakukan peletakan batu pertama.

Namun, syetan selalu lebih pintar dari manusia. Gus Pri sangat rentan dibisiki syetan untuk menghentikan cita-citanya. Tapi tekadnya mewujudkan titah almarhum Kiai Salam lebih kuat, sehingga syetan harus mencari strategi lain untuk mengganggu rencana itu.

Tak lain, melalui Nyai Hayat. Syetan merasuki pola pikir Nyai Hayat--Hingga pikirannya tergugah untuk meragukan cita-cita keduanya. Target syetan, Gus Pri harus mundur dari rencana awal. Syetan berhasil menelusup di relung hati Nyai Hayat.

"Abah, apa rencana kita tidak salah?" tanya Nyai Hayat pada Gus Pri di suatu pagi.

"Rencana yang mana?" Gus Pri menanggapi serius.

"Mengembangkan rumah tahfidz menjadi pondok," jawab Nyai Hayat pendek.

"Tidak ada yang salah untuk kebaikan. Kok tiba-tiba Nyai jadi ragu?" Gus Pri agak menggeser kursinya lebih dekat dengan jendela tempat Nyai Hayat duduk.

"Kata sebagian orang, mendirikan dan mengembangkan pondok itu hanya untuk memperkaya diri, sementara santrinya tidak diurus," Nyai Hayat serius.

"Jangan berkaca pada air keruh. Itu sebagai pelajaran kita ke depan. Kalau itu buruk, berarti kita jangan melakukan hal serupa!" tukas Gus Pri.

Semburat keraguan Nyai Hayat itu bukan tanda dasar. Sebab sejak Gus Pri dan Nyai Hayat mengelola Rumah Tahfidz, tidak sedikit cerita-cerita santrinya tentang tata kelola pondok pesantren yang tidak serius mengurusi santri.

Seperti dikisahkan Fahrudin, yang keluar dari pondoknya karena sebagian ustadznya tidak menjadi tauladan. Peraturan di pondok harus puasa Senin dan Kamis, tapi ustadz-ustadznya tidak puasa. "Kalau memang tidak puasa, jangan makan di depan santri. Itu kan tidak bagus untuk percontohan kami," ujar Fahrudin, berkisah pada Nyai Hayat, sembari belajar masak di dapur bersama santri lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun