IA merindukan Tanah Garam sebagaimana ia merindukan surga. Benih rindu dalam hatinya, telah tumbuh menjelma pohon, mengakar kuat, dan berdaun rindang. Dari hari ke hari, pohon itu menjulang tinggi dan berbunga. Membuat tubuhnya sering menggigil dihujani kelopak bunga-bunga rindu, terutama setiap bulan Ramadhan. Ia rindu mencium aroma garam yang menyelimuti tanah kampung halamannya. Aroma itu sama dengan aroma tubuh pemuda yang paling tampan di kampungnya, Cak Danu.
Sebagaimana lelaki Tanah Garam kebanyakan, Cak Danu bekerja sebagai petani garam. Bukan sebuah pekerjaan yang menjanjikan kekayaan. Bila menikah dengan Cak Danu, ia tidak bisa mengharapkan sesuatu yang diimpikannya: operasi kelamin dan payudara. Tapi, bagaimanapun, petani garam itu telah membuatnya jatuh hati. Petani garam itu pula yang mengucapkan cinta padanya untuk pertama kalinya.
Di bening matanya yang senantiasa menyimpan mendung, masih membayang Cak Danu menyelipkan kembang melati di telinganya, sambil membisikkan, "Duh tang malate, ta gegger polana ojen, ban ta elop polana panas are." Lalu, bibir Cak Danu yang asin, mengecup lembut dahinya.
***
Semua orang memanggilnya 'wandu'. Hanya Cak Danu yang yakin bahwa dirinya perempuan. Cak Danu-lah yang memanggilnya Malate--Melati--namanya sebagai perempuan. Dulu, ketika bulan Ramadhan, ia selalu berada paling sudut setiap solat taraweh di masjid. Cak Danu akan selalu berada tepat di sisinya. Solatnya sulit khusyuk, tapi membuat dirinya semakin rajin solat berjamaah di masjid. Apalagi setiap bersalaman seusai salat Cak Danu suka menggelitik telapak tangannya. Membuat hatinya berbunga-bunga.
Kini, ke mana pun ia melangkah, bayang-bayang Cak Danu terus menghantui dan memanggil-manggilnya pulang.
Tapi, ke mana ia harus pulang?
Keluarganya percaya, siapa yang bisa menebarkan ketakutan di Tanah Garam, dirinya akan disegani. Karena itu, para tretan dalem ingin dirinya mengikuti jejak ayahnya sebagai orang balater. Berkat ayahnya, tanah warisan leluhur, terlindungi dari orang-orang berseragam militer yang senang sekali menyita tanah dengan dalih atas izin pemerintah. Berkat kekuasaan ayahnya, tidak ada orang-orang berseragam militer yang berani memasang tanda milik pemerintah pada tanah mereka. Berkat kekuasaan ayahnya pula, irigasi milik warga desa, dapat diatur dan tidak ada pencurian aliran air. Ibunya tidak berani berselingkuh atau digoda lelaki lain. Bahkan, semua lelaki membuat ayahnya sakit hati bahkan persoalan sepele akan binasa di ujung celurit pusaka yang haus darah. Alih-alih mengikuti jejak ayahnya sebagai 'orang balater', ia malah membikin ayahnya murka.
Pada malam lebaran di masa laluia lupa kapan waktunya, saat takbir berkumandang dan bersahut-sahutan, Cak Danu menuntunnya menuju pantai. Mulanya, Cak Danu hanya ingin menghadiahinya sebuah bungkusan berisi mukena dan kerudung, bukan kemeja atau peci sebagaimana seharusnya.
"Karena kamu seorang perempuan,' tutur Cak Danu.