Mohon tunggu...
Kafka
Kafka Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"What Bad Brands Do"

7 Mei 2018   09:20 Diperbarui: 7 Mei 2018   09:31 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marketing Myopia kerap dilakukan ketika Brand sudah menutup diri karena posisi market yang kuat. (.pinterest.co.uk)

Dalam beberapa puluhan literatur, jurnal ilmiah serta buku-buku Marketing khususnya mengenai Brand, dapat diperoleh acuan mengenai betapa pentingnya sebuah Brand perlu melakukan adaptasi terhadap masing-masing target marketnya. Brand, sebagai intangible asset yang memiliki nilai yang sangat besar serta mampu memberikan added value ( revenue ) bagi perusahaan, dituntut mampu melakukan interaksi dengan target market sesuai dengan brand value yang dimiliki dan memiliki relevansi value yang dimiliki oleh target market.

Semakin kuat positioning brand dalam brand (dalam hal ini premium), maka proses interaksi dengan target market pun memiliki value yang kuat dan relevansi semakin kuat. Sebuah brand yang memiliki ragam level target market sangat disarankan dengan proses kustomisasi interaksi dengan masing-masing target market.

Sebagai contoh, sebuah brand dengan core service : kartu ponsel pasca bayar, memiliki target market dengan usia penggunaan jasa tersebut yang cukup lama, maka program kustomisasi Brand tersebut kepada pelanggan pasca bayar pastinya akan pelanggan pra bayar.

Secara sederhana, semakin premium sebuah brand, semakin loyal pengguna brand tersebut, maka interaksi layananpun harus ditingkatkan dan lebih baik. Dengan revenue yang dihasilkan, Brandpun dituntut mampu meningkatkan repetisi penggunaan jasa, jumlah target market yang semakin besar dan pada akhirnya, nilai revenue yang semakin besar.

Namun apa yang disampaikan dalam literature yang ada jauh sekali dengan penerapan brand premium di tanah air. Kita bisa melihat dengan gamblang bagaimana layanan dalam toko Brand tersebut yang jauh sekali, pramuniaga yang lemah dalam sisi product knowledge dan seringsekali sibuk dengan penampilan dan urusan mereka sendiri. Disisi lain, hal ini semakin diperburuk dengan layanan purna jual Brand yang lemah, ketersediaan spare part yang tidak jelas dan program retaining Client yang dilakukan setengah hati.

Sebagai contoh riil, bagaimana buruknya implementasi program retaining klien pada segmen premium dapat kita lihat dari kejadian yang dialami oleh klien salah satu pelanggan kartu ponsel pasca bayar yang telah menjadi pelanggan selama lebih 8 tahun. Setelah mengetahui poin yang dimilikinya cukup banyak, maka Clien tersebut mencoba menukarkan poin tersebut pada toko tertentu dengan harapan mendapatkan potongan harga yang besar dengan kompensasi pengumpulan poin yang dimilikinya. 

Dengan rasa penyesalan, pramuniaga toko tersebut menyampaikan permohonan maaf tidak dapat melakukan penukaran poin karena kuota poin di toko ini telah habis. Atas penuturan pramuniaga lebih lanjut, bahwa permohonan maaf ini telah dilakukan beberapa kali kepada Clien yang berbeda dalam beberapa hari terakhir. Perihal penambahan kuotapun telah disampaikan kepada Brand ponsel tersebut, namun tidak juga mendapatkan tanggapan.

Lantas apa yang perlu dilakukan oleh Brand tersebut ?, laporan akan hal ini pastinya sering diterima oleh Brand tersebut. Namun laporan hanyalah tinggal proses input, sedangkan tindak lanjut yang dilakukan untuk memperbaikipun tidak terlihat dan mungkin jika dilakukanpun sudah sangat terlambat. Brand tersebut telah kehilangan momentum untuk melakukan recovery bagi klien. Jika klien sudah kecewa, maka beberapa hal yang dilakukan dapat diprediksi yakni rekomendasi / testimonial yang buruk dan switching ke Brand competitor. Jika pilihan dimarket belum ada yang sebaik Brand tersebut, maka klien akan membatasi transaksi, lebih demanded (rewel) dan menunggu untuk loncat kepada Brand lainnya.

Dalam turbulensi market yang terdisrupsi, Brand perlu mencermati program kepada target market dengan value revenue yang besar dan tetap. Brand membutuhkan insight yang lengkap mengenai preferensi klien dengan lebih kuat dalam sisi relevansi dan impact. Brand pun harus lebih jujur untuk mengetahui kelemahan yang ada dan mau mengembangkan dengan lebih dan kuat untuk proses Brand bonding yang ada dengan klien. 

Tidak perlu ragu atau berlebihan dalam melakukan proses market capturing, bahkan lebih buruk, selalu melakukan proses kompetisi dengan brand competitor. Brandpun sebenarnya paham namun enggan untuk melakukan acuan yang ada, bahwa yang paling efektif adalah mampu menempatkan Brand lebih kuat dibandingkan dengan competitor atas layanan yang memiliki relevansi yang lebih kuat kepada klien dan prospek.

Dalam artikel yang diterbitkan oleh McKinesy pada Maret 2016 ( Saving, scrimping, and ... splurging? New insights into consumer behavior ), disampaikan oleh Magni, Martinez dan Motiwala, dengan perubahan yang ada saat ini, Brand diminta untuk mampu menentukan dengan jelas dan detail terhadap target market yang dituju. Brand diminta mampu memahami dengan baik proses pengambilan keputusan, referensi buying value dan perilaku pengambilan keputusan pembelian yang dilakukan oleh target market tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun