Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... -

yeehhaaaaaahhh..... udah gak kebalik lagiii :)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Peziarah : Ladang Pergantian

3 Januari 2011   13:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:00 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12940605751736637789

. *Mohon maaf jika tulisan ini cukup panjang dan agak membosankan... Selamat membaca...  :)

.

[Padang Pergantian, akhir zaman ke-253]

*

Lelaki tua duduk bersama dengan lelaki muda di sebuah sudut malam, di sebuah padangpergantian, tempat dimana segala hal akan berganti dan tiada kekekalan dalam abadi. Terkecuail pergantian itu sendiri. Langit menjadi saksi perihal awal dan akhir yang bertaut dalam sejarah kelahiran dan kematian zaman. Di antara bayang yang mereka namakan baharu dan usang.

“Sudahkah engkau siap menggantikan diriku?” tanya lelaki tua.

Lelaki muda diam. Lama hingga akhirnya sebersit suara terlepas dari mulutnya, “Ya, aku siap.”

“Bagus, aku senang mendengarnya. Adakah yang ingin kau tayakan padaku untuk terakhir kalinya?” lanjut lelaki tua.

“Ada yang sedikit mengganjal di pikiranku, kemanakah dirimu pergi ketika saatnya tiba aku harus meninggalkanmu?”

Tawa renyah terdengak dari mulut lelaki tua. “Mengapa kau tanyakan itu?” balas lelaki tua.

“Hanya sedikit pemikiran bodohku saja. Tapi jujur, justru aku merasa khawatir akan itu”

“Apa yang kau khawatirkan? Di saat seperti inilah kau harus singkirkan keraguan dan pikiran negatif lainnya.”

“Apa kau akan mati?” tanya lelaki muda.

Tawa yang lebih keras terdengar kembali dari mulut lelaki tua itu, lebih keras dari tawanya sebelumnya. “Mengapa kau berfikir seperti itu?” kembali lelaki tua menanyakan.

“Hanya sedikit pemikiranku saja, itu pun karena kekhawatiranku padamu. Bagaimanapun aku sudah mengikutimu sejak aku belia hingga menjadi seorang lelaki yang kau dapati berbincang denganmu saat ini. Dan satu hal, kau belum menjawab pertanyaanku malah balik bertanya.”

“Untuk pertanyaanmu itu, kau akan tahu pada saatnya. Ketika kau duduk kembali bersamaku kelak di padang ini. Mungkin saat itu, aku kan menanyakan pertanyaan yang sama seperti yang kau tanyakan kepadaku.”

“Maksudmu?”

“Hahaha... Sudah kubilang kau akan mengetahuinya sendiri. Bukankah sudah jelas bagimu, kalau aku takkan menjawab pertanyaanmu .”

“Kau memang orang tua yang aneh. Tadi kau menanyakanku apakah ada yang perlu kutanyakan. Sekarang kau malah menyimpan jawaban pertanyaanku untuk dirimu saja,” gerutu lelaki muda itu.

“Justru aku mengharapkan kau menanyakan hal lainnya. Katakanlah semacam pertanyaan tentang bagaimana dan apa yang akan kau hadapi kelak.”

“Tidak, untuk itu kurasa sudah jelas bagiku. Hampir seluruh hidupku sudah kuisi dengan mengikutimu. Banyak hal yang sudah kupelajari langsung darimu,” Lanjut lelaki muda itu.

“Baiklah, kalau memang sudah sangat jelas segalanya bagimu, aku akan menanyakan sesuatu padamu?”

“Silahkan, tanyalah apa yang engkau ingin tahu, atau lebih tepatnya yang kau ingin uji dariku,” tantang lelaki muda itu.

“Kau lihat ke atas langit sana?”

“Ya, aku lihat,” balas lelaki muda cepat.

“Apa yang kau lihat?”

“Rembulan, juga ada beberapa bintang. Beberapa di antaranya ada yang sangat terang, ada juga yang hanya berupa kilauan kecil,” jelas lelaki muda.

“Menurutmu manakah yang lebih besar di antara mereka?” sambung lelaki tua.

“Tentu saja rembulan, baru setelah itu bintang yang kemilaunya besar disusul dengan bintang yang berpendar redup.”

“Ketahuilah, bagaimana bisa kau katakan bintang itu jauh lebih kecil ketimbang rembulan? Juga bintang dengan kemilau yang lebih teranglebih besar dari bintang dengan kemilau yang kecil dan redup? Apakah jarak di antara mereka dengan sudut matamu tak ada artinya bagimu? Satu hal lagi, kau melupakan langit. Apa kau tak melihat langit?”

Lelaki muda itu terdiam.

“Pertanyaan lainnya dariku, apa kau melihat matahari di atas sana?” tanya kembali lelaki tua itu.

“Maaf jika jawabanku sebelumnya masih salah dan kurang memuaskan bagimu. Untuk pertanyaanmu yang ini, jelas bisa kukatakan kalau tak ada matahari di sana. Aku yakin itu.”

“Bagaimana kau bisa yakin?”

“Ya karena aku mataku sama sekali tak menangkap adanya matahari di sana. Dan ini adalah malam hari. Jelas-jelas matahari tak memunculkan dirinya di kala malam.”

Lelaki tua itu tersenyum. Lain dengan halnya lelaki muda yang justru merasa aneh ketika melihat senyuman lelaki tua itu. apa jawabannya kali ini salah lagi, pikirnya.

“Mengapa kau hanya tersenyum? Bagaimana dengan penjelasanku?” heran lelaki muda itu.

“Aku tak bisa menyalahkan jawabanmu itu, toh aku yakin matamu belum mau menipumu, sehingga dalam penglihatanmu kau tak menjumpai matahari sama sekali. Penjelasanmu pun juga masuk akal bagiku. Aku hanya tersenyum karena rasanya aku belum sepenuhnya sependapat denganmu.”

“Maksudmu? Apa kau melihat matahari di atas sana?”

“Ya, aku melihatnya. Sangat jelas sekali terlihat olehku. Ia begitu indah, sangat indah.”

“Aku semakin tidak mengerti denganmu. Coba kau tunjukan di mana matahari yang kau lihat itu.”

“Kau melihat rembulan?”

“Lagi-lagi kau membalas pertanyaan dengan pertanyan. Dan bukannya juga sudah aku sebut tadi kalau aku melihat Rembulan”

“Hahahah... Maaf, rupanya ingatan tuaku sudah tak lagi bersahabat nampaknya. Baiklah kalau memang kau melihat rembulan, apa yang kau lihat darinya?”

“Dia bulat, putih, terang dan bersinar.”

“Apa yang kau rasakan ketika melihatnya?”

“Aku merasakan keindahan,” Jawab lelaki muda itu.

“Keindahan? Darimana kau bisa melihat keindahan itu?”

“Ya tentu saja dari cahayanya yang indah dan cemerlang.”

“lantas, darimana cahaya itu berasal?” tanya lelaki tua itu memancing.

“Kalau pertanyaanmu kali ini bermaksud menjebakku, rasanya sudah terbaca olehku. Tentu kau akan mengira aku akan menjawab cahaya itu berasal dari rembulan itu? Tidak, aku tak sebodoh itu. Cahaya itu tentunya berasal dari matahari yang kemudian oleh rembulan, ia bagikan ke pada penduduk malam.”

“Cahaya dari matahari?”

“Ya,” jawab lelaki muda itu singkat.

“Kalau begitu, apa kau masih tidak melihat matahari di atas sana?”

Lelaki muda itu terdiam. Lagi-lagi kesadaran merampas pikirannya. Dialogis berkecamuk di sudut bathinnya. Keraguan mulai menyapanya. Apakah ia telah siap? Pikirnya.

“Ada apa? Dari raut wajahmu sepertinya aku menangkap sejumah kegusaran. Sampaikanlah apa yang masih mengganjal di benakmu,” tanya lelaki tua itu menangkap kegusaran dari lelaki muda.

“Rasanya aku belum siap tuk menggantikanmu”

“Siap atau tidak siap bukan itu yang akan menjadi persoalan pada malam ini. Jika masanya sudah tiba, dan perjalanan harus dilanjukan, maka kepada siapa lagi zaman akan bergantung kalau bukan pada peziarah yang terikat janji. Masih ingatkah kau pada syair tentang kisah peziarah di penghujung langkahnya?”

“Masih, dan masih sangat jelas olehku kala pertama kau melantunkan syair itu padaku.”

“Bagus, kalau kau masih ingat. Entah kenapa, aku ingin sekali mendengar kau melantunkan lagi syair itu padaku.”

“Lagi? Bukannya aku belum pernah sama sekali melantunkan syair itu?” tanya heran lelaki muda itu.

“sudahlah tak usah kau pikirkan, lakukan saja untukku.”

_______________________________

Peziarah hidup dari setiap langkah

Meretas zaman dari setiap jejak sang waktu

Ia usap setiap usang

Karena hakikat tak selamanya lekang

Hanya lantaran jubahnya yang mengusam

{*}

Peziarah hadir di setiap perlintasan zaman

Dan titian yang jauh tertinggal di belakang

{*}

Peziarah larut termakan zaman

Hingga akhirnya tubuh tak tersanding ingin

Dan langkah yang kian meradang

Hingga sore mengantarkannya ke batas kalang

Padang pergantian,

Menanti zaman mengganti yang harus terganti

{*}

Aku hadir kala itu

Di ujung bayang tubuhnya

Memenuhi panggilannya,

Sebagaimana ia penuhi panggilanku

Lanjutkan jejak-jejak yang terputus itu, katanya

Zaman sudah bukan lagi menjadi milikku, lirihnya

{*}

Pezirah melanjutkan lagi langkahnya

Meninggalkan tubuh tua yang telanjang

Yang tak lagi terbalutkan jubah yang mengusam

Dan tergantikan oleh jejak-jejak lain,

Jejakku

_______________________________

“Indah, bahkan lebih indah terdengar ketimbang aku yang melantunkannya untukmu.”

“Apa syair itu bercerita tentang kita?”

“Menurutmu?” tanya lelaki tua.

“Entahlah, walau dulu pernah kau katakan kalau syair itu sudah ada sejak ratusan zaman yang lalu, tapi rasanya setiap kata demi kata yang keluar dari mulutku seperti sebuah janji dan janji itu seolah terhubung denganku. Bisa kau jelaskan itu semua?”

“Seberapa kuat perasaanmu?”

“Aku tak tahu. Baru kali ini aku rasakan hal itu, dan baru kali ini aku melantunkan syair itu. dan lagi mungkin ini akan terdengar sangat tidak sopan bagimu, aku benci tiap kali kau jawab pertanyaanku dengan pertanyaan lainnya,” balas lelaki muda dengan sedikit ekspresi kesal merasa pertanyaannya seperti tak dihiraukan.

“Maaf jika aku membuatmu kesal, tapi terkadang pengetahuan terpecahkan bukan melalui bertanya ataupun menjawab. Keduanya hanyalah salah satu cara dari seribu cara lainnya dalam mengurai teka-teki dan sejuta kerahasiaan yang masih terselubung,” Jelas lelaki tua itu mencoba menenangkan.

“Maksudmu?”

“Kurasa sudah jelas. Kau terlalu banyak bertanya, itu saja. Garis hidupmu masih akan dipenuhi kerahasiaan lainnya. Kau harus mengurainya satu persatu. Bahkan tidak jarang kau akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan itu. mereka akan menyerangmu dengan seribu pertanyaan, sekalipun telah kau jawab keseribu pertanyaan itu, masih akan kau temui seribu pertanyaan lainnya.”

“Apakah aku akan mampu menjawabnya?” tampak sedikit nada kekhawatiran dari lelaki muda itu.

“Apakah kau belum belajar dari penjelasanku tadi? Kau terlalu banyak bertanya tentang hal yang belum saatnya kau ketahui.”

“Dan kau pun juga terlalu banyak menanyaiku tentang sesuatu yang tak kupahami,” balas lelaki muda itu.

“Bukankah kau yang tadi bersedia untuk kuuji? Perlu kau ketahui, bukan jawaban darimu yang kuharapkan, melainkan pemahamanmu terhadap jati dirimu sendiri. Hakikatmu sendiri. Anggap sajalah aku orang tua yang cerewet, itu pun lantaran begitu banyak harapanku yang kupercayakan padamu. Sedangkan masih banyak pula kekhawatiran di benakku, mungkin beberapa di antaranya masih bisa kutepiskan, namun ada yang tak bisa sama sekali kutepiskan, melainkan hanya mampu berharap perjalanan takdirmu akan mampu membawamu ke langkah yang menjadi perjanjian kita.”

“Maksudmu? Perjanjian apa?”

“Hahaha... Nampaknya kecerewetanku sudah terlalu banyak membuatmu pusing ya? Lupakanlah. Jangan terlalu banyak kau pikirkan, ada kalanya akan kau ketahui sendiri.”

Lelaki muda itu terdiam, tampak ia mengalah kepada kerahasiaan yang dipendam oleh lelaki tua itu. ia hanya berharap suatu saat ia akan mengetahuinya sendiri. Tanpa mereka sadari malam sudah semakin tunduk pada kehendak langit. Pergantian pun akan mendatanginya. Perjalanan lain akan juga dimulai. Semua bergerak. Seperti halnya langkah takdir kedua lelaki itu.

“Sudah saatnya, zaman akan segera berakhir, zamanku. Dan zamanmu pun akan segera dimulai. Langkahmu pun akan segera tercatat dalam garismu sendiri.”

“Pertanyaan terakhir dariku, sebagai awal bagiku. Menurutmu kemanakah langkah kakiku akan kumulai?” tanya lelaki muda.

“Ke barat, selanjutnya segala penjuru arah menjadi milikmu, kau bebas melangkahkan kakimu dalam kehendakmu. Sedikit pesan terakhirku padamu, pada saat usia zaman memasuki sepenggalan zaman, menepilah di sebuah wilayah di sisi timur wajah dunia. Ada sebuah jembatan di sana, mereka menamakannya titi penantian, kalaulah apa yang menjadi kehendak langit terputuskan, mungkin kau akan menemukan salah satu bagian dari rahasia perjanjian ini.”

“Coba jelaskan padaku maksud pesanmu tadi?”

“Hei, bukannya kau tadi sudah berjanji tidak bertanya lagi. Sudahlah jangan habiskan masa, lekaslah melangkah!”

*

Lelaki muda itu tampak mengalah meski masih banyak pertanyaan yang belum terjawabkan. Ia tahu saat ini ia harus berjalan, mengikuti langkah dan janji yang harus ditepati, setidaknya ia mulai merasakan kehadiranya sebagai bagian dari perjanjian itu, meski ia tak tahu misteri di balik itu semua. Keheningan menjemput lelaki tua itu, tatkala menatap sejumput bayang punggung yang samar dalam gelap, perlahan menjauh hingga akhirnya menghilang. Pergantian kedua lelaki itu usai sudah, tak ada lagi percakapan yang terucapkan. Tapi tidak dengan gemerisik di padang itu. Riwayat pergantian masih terus bergumul dalam nafasnya masing-masing.

“Semoga perjalananmu menemukanmu pada ikatan itu. Teruslah melangkah, tunggulah aku di titi penantian. Aku akan tersenyum kala itu, senyum yang sama kala aku menemukanmu,” lirih lelaki tua itu tak terdengar sebelum akhirnya ia terdiam dalam keheningan malam.

*

Salam

.

Ilustrasi http://akuperempuanlangit.blogspot.com/

.

Postingan lainnya:

.

Bukan Dia Yang Melukis Langit

Prodeo : Aku pun Berhak Makan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun