Mohon tunggu...
jusra chandra
jusra chandra Mohon Tunggu... -

Penulis, pengamat sosial. Tinggal di Medan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Budha Zen, Islam Sufi dan Komunikasi (Memahami Komunikasi Politik - Bagian 2)

21 Agustus 2010   01:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:50 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah pertanyaan lama yang diajukan para penganut berbagai agama - Budha Zen, Islam Sufi dan para Rabbi Talmud - "Apakah ada suara jika sebatang pohon ambruk di hutan dan tak seorang pun ada di dekatnya dan mendengarkan?" Jawaban yang benar adalah tidak. Sekalipun ada gelombang suara, tetapi kalau tidak ada seseorang yang menangkapnya maka tidak ada suara. Suara diciptakan oleh daya tangkap. Suara adalah komunikasi. Yang berkomunikasi adalah si penerima. Yang disebut komunikator, orang yang memancarkan komunikasi, tidak berkomunikasi. Ia hanya mengucapkannya. Tanpa seseorang yang mendengarnya, tidak ada komunikasi. Hanya ada bunyi. Komunikator mungkin berbicara atau menulis atau menyanyi - tetapi ia tidak berkomunikasi. Dia pasti tidak dapat berkomunikasi. Dia hanya menciptakan keumungkinan (atau tidak memungkinkan) si penerima - atau lebih baik, "si penanggap" - untuk menanggapi atau menangkap atau merasa. Dalam Phaedo-nya Plato, Socrates menunjukkan bahwa kita harus erbicfara dengan orang menurut segi pengalaman mereka sendiri. Kita harus mengunakan istilah tukang kayu jika berbicara dengan tukang kayu, bahasa pelaut jika berbicara dengan pelaut dan sebagainya. Orang hanya dapat berkomunikasi dalam bahasa atau istilah si penerima. Dan istilah-istilah itu harus berdasarkan pengalaman. Tidak ada gunanya mencoba menerangkan istilah kepada orang lain. Mereka tidak akan bida menerima istilah-istilah  yang tidak berhubugan dengan pengalaman mereka sendiri. Dalam berkomunikasi, pertanyaan pertama harus "Apakah komunikasi ini masih dapat ditangkap si penerima? Apakah dia dapat menerimanaya?" "Jarak daya tangkap" tentu saja fisiologis dan sebagian besar (walaupun tidak seluruhnya) ditentukan oleh batas-batas fisik badan manusia. Tetapi, jika kita berbicara mengenai komunikasi batas-batas daya tangkap yang plaing penting biasanya bersifat budaya dan emosional, dan bukan fisik. Orang jarang menyadari baha apa yang jelas bagi kita dan nyata-nyata disahkan oleh pengalaman emosi kita, mempunyai dimensi-dimensi lain, bagaian "belakang" dan "samping", yang sama sekali berlainan dan, karena itu, menyebabkan tanggapan yang sama sekali lain pula. Cerita mengenai orang orang buta dan gajah hanya satu kiasan dari keadaan manusia. Waktu bertemu dengan binatang aneh in masing-masing orang buta meraba salah satu bagian dari badan gajah dan melaporkan kesimpulan yang sama sekali berlainan. Bila hal ini belum juga disadari, tidak akan ada komunikasi. Bagaimana menurut Anda? Kompasianer yang budiman, 2 buku tentang komunikasi yang mumpuni direkomendasikan untuk Anda: 1. CERDIK BERBICARA (Gramedia, 2009. Contoh cover ada di akhir artikel) 2. CERDAS BERBICARA (Gramedia, 2010. Contoh cover ada di akhir artikel) Carilah di toko buku Gramedia, bacalah, semoga membawa banyak berkah dan manfaat. Salam, Jusra

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun