Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Musim Gugur Startup di Depan Mata

4 April 2019   14:23 Diperbarui: 5 April 2019   12:11 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Startup by rubygarage.org

Menanggapi startup yang berguguran, berbagai hipotesa diajukan. Termasuk tak sedikit yang mengatakan bahwa masalah utamanya adalah keterbatasan sokongan uang. Kekuatan kapital diyakini sebagai faktor kunci bertahan di industri digital dengan nafas panjang.

Sebuah studi menarik bertajuk The Top 20 Reasons Startups Fail dipublikasikan oleh CBSInsight. Studi itu merupakan analisa terhadap 101 startup yang gagal. Produk yang tidak diterima pasar, kehabisan modal serta tim yang tidak tepat merupakan tiga masalah teratas yang menjadi penyebab mengapa usaha rintisan gagal. Namun bila disimplifikasi, 20 penyebab kegagalan startup yang diuraikan di dalam studi tersebut terbagi kedalam tiga kluster problem. Yaitu karena persoalan keuangan, tim yang tidak tepat serta riset yang lemah.

Startup yang gagal karena masalah keuangan sudah sering kita dengar. Bukan rahasia lagi bila industri digital ini adalah industri padat modal. Ajang bakar duit. Tengoklah bagaimana sengitnya persaingan di sektor online retail, ride hailing, financial technology dan online travel agent.

Empat sektor tersebut merupakan ujung tombak ekonomi digital saat ini. Empat sektor industri digital yang sudah sesak. Startup berkompetisi mengakuisisi dan menjaga loyalitas pelanggan dengan aneka promo menggiurkan. Perang harga tak terhindarkan. Mulai dari penawaran discount, hingga cashback. Uang dihamburkan demi eksistensi, alih-alih berpikir jadi market leader.

Dalam situasi perang seperti itu, seberapa dalam kocek dapat dirogoh tentu jadi faktor amat krusial untuk menentukan bisa tidaknya sebuah startup bertahan. Maka sokongan pendanaan dari investor kakap amat dibutuhkan. Yang tak mendapat investor hanya bisa balik kanan dan keluar dari arena persaingan.

Dukungan keuangan yang kuat tentu saja bukan garansi sebuah startup dapat bertahan. Yang juga tak kalah penting adalah tim andal. Terutama yang berada di level otak perusahaan. Yaitu para pendiri (founder) dan juga mentor. Membesut usaha rintisan membutuhkan dedikasi tinggi dan sinergi yang kuat diantara setiap komponen inti.

Sokongan dana yang kuat dan tim andal ternyata tidak memperkecil kemungkinan sebuah startup gagal. Secara empirik hal ini terkonfirmasi dalam daftar startup yang gagal.

Seperti kasus tutupnya Qlapa yang digawangi oleh anak-anak muda dedikatif, termasuk alumni Silicon Valley. Ibu kota industri digital dunia. Dukungan pendanaan buat Qlapa juga sudah mengucur. Bahkan sudah di tahap Seri A. Itu berarti sebelumnya sudah ada investor lain yang mengguyurkan modal buat startup ini.

Satu hal yang mungkin luput dari pelaku dan para stakeholder industri digital adalah dukungan riset. Atmosfer riset yang lemah baik dalam skala negara maupun di level internal perusahaan ternyata berkonsekuensi terhadap eksistensi di jagat industri digital. Okelah, kekuatan modal dan tim memang faktor penting. Tapi mengabaikan riset berarti menciptakan risiko yang mengintai di masa depan.

Sebagai industri yang mengarusutamakan inovasi, sokongan riset adalah keniscayaan bagi industri digital. Riset merupakan kunci untuk pengembangan produk, membaca kecendrungan pasar atau bahkan mengembangkan sektor industri baru. Bila riset lemah, bahkan startup yang berada di level product/market fit seperti Qlapa pun bisa gagal. Padahal, startup di fase ini sudah punya produk spesifik yang diterima oleh pasar. Secara teoritik, startup di level ini mestinya dapat eksis.

Konsekuensi lain dari riset yang lemah adalah industri digital terkonsentrasi pada sektor-sektor tertentu saja. Seperti disebutkan di atas, industri digital Indonesia saat ini terpusat di online retail, ride hailing, financial technology dan online travel agent. Pendatang baru yang terpukau karena melihat pasar yang ramai akhirnya ikut menceburkan diri. Maka berkecamuk perang mematikan. Akibat memperebutkan pasar yang sesak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun