Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Digitalisasi Industri dan Tantangan dalam Berkarir

25 Oktober 2018   16:40 Diperbarui: 25 Oktober 2018   19:39 2976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja di era digital (sumber : jobyourlife.com)

Transformasi ke kancah digitalisasi bergemuruh di berbagai sektor. Para pelaku bisnis, tak mau ketinggalan mengadopsi teknologi berbasis digitalisasi. Tuntutan digitalisasi memang mewabah di berbagai lini. Digitalisasi bahkan menjadi tema strategis di setiap organisasi perusahaan dalam menjalankan transformasi.

Menyikapi tsunami digitalisasi, terlihat bahwa banyak yang telah siap dan sigap mengadopsi teknologi anyar ini. Tak sedikit pula yang, gagap menangkap gejala perubahan yang berhembus sejak awal sehingga tak siap dengan kuda-kuda bagaimana menghadapi realitas yang dengan cepat berubah. Bahkan tak jarang, beberapa perusahaan tumbang tertindas gemuruh digitalisasi yang mengakibatkan disrupsi.

Tutupnya beberapa media cetak di tanah air, tergusurnya incumbent-incumbent raksasa di sektor agensi perjalanan (travel agent), hingga kerugian yang mendera perusahaan taksi papan atas di tanah air, merupakan serentetan dampak nyata disrupsi yang meledak dari celah gemuruh digitalisasi. 

Bagi kita di Indonesia, terpaan gelombang digitalisasi yang amat terlihat bahkan mungkin juga kita terkena dampaknya datang dari industri transportasi. 

Sejak awal kemunculan aplikasi layanan transportasi berbasis online (ride hailing), para pelaku di industri ini yang masih menerapkan cara-cara tradisional melakukan penolakan. 

Hingga saat ini, regulasi yang mengatur layanan transportasi online belum tuntas. Pemerintah dilematis. Terjebak di posisi serba salah bagaimana mengakomodir kepentingan dua pihak yang datang dari era industri berbeda. 

Sebetulnya kita semua tahu, isu utama di balik penolakan teknologi ride hailing ini adalah persoalan ancaman lapangan pekerjaan. Banyak yang khawatir, kue ekonomi mereka disantap teknologi digital, alih-alih bersikap ramah merangkul dan menuai benefit dari perubahan yang tengah terjadi.

Di luar berbagai benefit yang ditawarkan, ancaman terbesar dari gelombang digitalisasi memang menyasar sektor tenaga kerja. Menurut penelitian McKinsey, sebanyak 800 juta pekerjaan terancam tergusur oleh otomatisasi (robotisasi). Termasuk yang dipicu oleh adopsi teknologi digital.

Meski industri tenaga kerja dibayang-bayangi oleh digitalisasi, hal itu sebetulnya tak perlu ditakutkan. Robotisasi bukanlah bencana. Menurut riset yang lain, digitalisasi justru menciptakan lebih banyak lapangan kerja daripada pekerjaan yang dieliminasi.

Menurut riset Forrester yang bertajuk The Future of Jobs, 2027: Working Side By Side With Robots, pada tahun 2027 robotisasi dan automatisasi bakal menggantikan 24,7 juta pekerjaan. Namun pada saat yang sama, kemajuan teknologi di berbagai bidang mampu menciptakan 14,9 juta lapangan kerja baru. 

Studi yang berbasis di Amerika Serikat ini memotret bahwa pekerjaan-pekerjaan mekanikal di bidang konstruksi dan pertambangan yang bakal paling terdampak. Demikian pula pekerjaan back office, juga terimplikasi robotisasi meski dampaknya tidak sesignifikan di dua sektor tadi. 

Tantangan bagi para pelaku bisnis adalah bagaimana fokus pada pelanggan. Selain itu, industri juga mesti mengembangkan strategi untuk menangani dampak otomatisasi pada industri mereka. Mengadopsi teknologi digital bisa jadi satu jalan keluar. Namun itu bukan satu-satunya celah yang harus di tutup.

Tantangan lain yang dihadapi industri adalah memacu adopsi digitalisasi secara kultural. Artinya, pada titik ini sumber daya manusia menjadi konsentrasi untuk dibenahi. 

Investasi digitalisasi di sektor sumber daya manusia tak harus mahal. Bahkan bisa dirancang bahkan pra rekrutmen. Strategi ini misalnya kita lihat diterapkan oleh raksasa-raksasa di Silicon Valley. Google, Facebook hingga Apple mentradisikan program internship atau magang untuk membidik SDM unggulan dari berbagai belahan dunia. Apple secara gamblang mengatakan di websitenya bahwa internship merupakan bagian penting dari sebuah kerja tim.

Kultur dari Silicon Valley ini sebetulnya mulai mewabah di tanah air. Sudah banyak perusahaan besar yang lincah mengadaptasi perubahan, membuka program magang bagi mahasiswa maupun sarjana baru. Sebutlah SCG Indonesia.

SCG telah menggelar program Excellence Internship untuk mendukung perkembangan generasi muda Indonesia. Tahun ini,11 mahasiswa terpilih dari berbagai kampus ternama di tanah airberhasil mengikuti program magang ini. Mengutip dari tribunnews.com, 

Country Director SCG Indonesia, Nantapong Chantrakul mengatakan bahwa Excellence Internship bertujuan untuk membantu menyiapkan generasi muda Indonesia untuk bersaing dalam skala regional dan global. Karena memang dalam program internship ini, para peserta mereka boyong ke kantor pusat SCG di Bangkok, Thailand. 

Bagi Google, Facebook, Apple, hingga SCG, program internship ini merupakan momentum bagi mereka membidik SDM terbaik yang siap berkontribusi di industri ketika mereka memasuki dunia kerja. Program magang tersebut ibaratnya sedang menginstalasi program SDM dengan software paling anyar. 

Para peserta Exellence Internship. 11 Mahasiswa asal Indonesia terpilih mengikuti program ini ke kantor pusat SCG, konglomerasi bisnis yang bermarkas di Bangkok, Thailand (sumber : youthmanual.com)
Para peserta Exellence Internship. 11 Mahasiswa asal Indonesia terpilih mengikuti program ini ke kantor pusat SCG, konglomerasi bisnis yang bermarkas di Bangkok, Thailand (sumber : youthmanual.com)
Sementara bagi para peserta internship, program tersebut menjadi gerbang bagi mereka memasuki dunia kerja berbasis pengalaman. 

"Yang terlintas setelah mengunjungi SCG: teknologinya canggih banget! Ini bikin mata aku terbuka bahwa di luar sana dunia sudah jauh berkembang pesat. Bahaya, nih, kalau aku dan anak-anak muda Indonesia lainnya nggak bisa mengejar ketertinggalan dengan berkarya sebaik mungkin di bidang teknologi atau pun di bidang-bidang lainnya," ujar Kallista Asaldila, salah satu peserta SCG Excellence Internship yang merupakan mahasiswa Teknik Sipil UI sebagaimana dikutip dari youthmanual.com.

Program magang merupakan cara efisien dalam melahirkan SDM yang adaptif terhadap lingkungan bisnis yang berubah. Sebab dalam praktiknya, banyak perusahaan yang menggelontorkan investasi jumbo untuk teknologi, namun gagal karena SDM yang tidak siap. Ini misalnya bisa kita lihat di sektor pemerintahan. 

Urusan mendasar warga negara macam KTP elektronik, kartu keluarga atau bahkan pindah domisili yang mestinya bisa tuntas dalam hitungan menit, justru tetap ribet harus diurus secara manual. Padahal peranti-peranti elektronik sudah ada di kantor kecamatan dan kelurahan.

Bagaimana di dunia bisnis? Setali tiga uang, fakta serupa dengan mudah dapat kita temukan. Saya punya pengalaman dalam hal ini. Beberapa bulan lalu saya membuka rekening di salah satu bank BUMN. 

Dalam proses pembukaan rekening tersebut, semua masih manual. Menulis data di secarik kertas dengan jumlah kolom amat banyak yang harus diisi. Termasuk untuk sistem keamanan rekening. 

Bayangkan, di era teknologi keuangan (fintech) menggurita, rupanya masih ada bank BUMN yang melakukan praktik bisnis bak kembali ke abad ketika internet masih barang mewah. Masih menggunakan sistem keamanan "nama gadis ibu kandung" padahal biometric security sudah mewabah di luar sana.

Pengalaman saya berhadapan dengan bank BUMN yang amat konvensional di era artificial intelligence (AI) ini, adalah potret bagaimana penolakan terhadap teknologi masih menjadi tantangan organisasi di berbagai sektor. Hanya bisa diubah dengan edukasi terus menerus. Kalau tidak mau berubah juga, solusi praktisnya, ya gantikan dengan automatisasi sekalian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun