Sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis hingga pusat pertumbuhan budaya modern yang semakin memikat anak-anak muda hijrah ke Ibu Kota yang menjanjikan banyak harapan.
Jakarta bahkan punya gelar yang belum dimiliki oleh kota-kota besar lain. Yaitu sebagai megacity.
Megacity merupakan sebuah kota super jumbo dalam aspek ukuran populasi. Biasanya didefinisikan sebagai wilayah metropolitan dengan total populasi 10 juta orang atau lebih.
Jakarta masuk Top 3 Megacity di dunia. Mengalahkan Delhi, Seoul, Guangzhou, Beijing, Manila, Mumbai dan New York City. Jakarta hanya kalah oleh Tokyo dan Shanghai.
Seperti halnya megacityyang lain, isu hunian dan keseimbangan lingkungan menjadi sorotan di Jakarta. Bayangkan, setiap 1 Km persegi Jakarta dihuni oleh 15.700 jiwa penduduk. Bila pengelolaan lingkungan dilakukan biasa-biasa saja, tentu kualitas hidup jadi pertaruhan.
Tak ayal, pembangunan dan pengembangan Jakarta harus diwujudkan dengan cara-cara inovatif. Bukan saja oleh pemerintah, namun terutama juga pihak swasta.
Tantangan bagi para pelaku industri di sektor properti, konstruksi, hingga pebisnis transportasi untuk melayani 10,4 juta warga Ibu Kota (30 jutaan se Jabodetabek).
Isu utama dalam pengembangan megacitysaat ini adalah pembangunan yang berpijak pada kebutuhan sosial dan lingkungan.
Megacity amat sensitif dengan perubahan lingkungan. Elemen krusial yang menjadi kunci harmoni megacitynamun tak mudah diwujudkan dalam pembangunan kota yang super kompleks.
Dalam sebuah talkshow di Hotel Pullman, Jakarta yang saya hadiri belum lama ini, Sigit Kusumawijaya salah satu arsitek dan urban design mengatakan, bahwa genre desain di kawasan perkotaan telah bergeser ke konsep berwawasan lingkungan.
Kita kian familiar dengan konsep green architecture dan urban farming. Inovasi ini merupakan respons atas kebutuhan hunian di tengah kota tanpa mengesampingkan kualitas lingkungan.