Mohon tunggu...
Jusman Dalle
Jusman Dalle Mohon Tunggu... Editor - Praktisi ekonomi digital

Praktisi Ekonomi Digital | Tulisan diterbitkan 38 media : Kompas, Jawa Pos, Tempo, Republika, Detik.com, dll | Sejak Tahun 2010 Menulis 5 Jam Setiap Hari | Sesekali Menulis Tema Sosial Politik | Tinggal di www.jusman-dalle.blogspot.com | Dapat ditemui dan berbincang di Twitter @JusDalle

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Agung Podomoro Land dan Ken Lawadinata Persengit Pertarungan E-commerce

5 November 2016   10:20 Diperbarui: 5 November 2016   16:36 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ken Dean L. Sumber gambar: techinasia.com

Dengan nama besarnya, kehadiran APLN bisa dipastikan mampu mengubah persaingan ecommerce dan marketplace di tanah air. APLN, menjadi kompetitor kuat mataharimall.com yang juga sudah lebih dulu masuk ke ranah e-commerce untuk menjaga eksistensi Matahari Departemen Store. Bukan tidak mungkin, ecommerce milik APLN menyalip mataharimall karena adanya sokongan industri properti (real estate), yang menjadi core bisnis APLN. 

Soal nilai tambah, kedua e-commerce ini harus diakui memiliki diferensiasi yang kuat dibanding yang lain. Sebab baik APLN maupun mataharimall sama-sama mengintegrasikan online dan offline (O2O). Sebuah adopsi pemasaran di era ekonomi digital yang diproyeksikan oleh pakar pemasaran Hermawan Kartajaya, menjadi tren di masa depan. 

Selama ini, kehadiran e-commerce dan markaetplace belum memiliki peneterasi yang dominan karena berbagai faktor. Salah satunya karena masalah channel distribusi. Riset Brand & Marketing Institute mengungkapkan, hanya 24% orang yang pernah melakukan transaksi belanja online. Sementara 76% lainnya memilih berkunjung langsung ke toko. Faktor risiko keamanan dalam pengiriman, kepastian dan menghindari penipuan menjadi alasan kuat mengapa e-commerce yang booming tidak serta merta diminati.

Sumber ilustrasi: chainstoreage.com
Sumber ilustrasi: chainstoreage.com
Lain lagi riset Baymard Institute, mencatat sebanyak 67,45% orang cenderung hanya melihat-lihat isi laman toko online namun tidak melakukan transaksi. Alasannya sama, karena faktor keamanan tadi.

Adapun model O2O yang diterapkan oleh mataharimall dan e-commerce APLN (nantinya), menepis semua masalah tersebut. Sebab ada toko offline sebagai ujung tombak yang menjadi semacam pegangan bagi konsumen, penjamin keberadaan ecommerce yang mereka kunjungi di dunia daring. Itulah mengapa O2O menjadi tren pemasaran masa depan ketika ekonomi digital, khususnya e-commerce dan marketplace semakin mewabah.

Ini yang paling penting, bagi e-commerce maupun marketplace yang tidak mampu bersaing dan nimbrung di medan pertempuran para raksasa tersebut, sebaiknya fokus menguatkan diferensiasi. Angkat nilai tambah yang kira-kira menjadi celah dan tak bisa dimasuki oleh APLN maupun mataharimall. Misalnya aspek keunikan yang melekat pada e-commerce dan marketplace busana muslim yang mengusung brand-brand lokal dari kalangan UKM.

Di tengah pertempuran para raksasa, e-commerce dan marketplace ‘kecil’ sebaiknya merawat captive market yang telah mereka rengkuh alih-alih tergiur ikut arus yang diciptakan oleh para raksasa yang memiliki 1001 nyawa dengan sokongan modal tanpa batas nominal.

Sumber: 1 2 

Baca juga artikel saya tentang ekonomi digital yang pernah terbit di koran Republika : Menyoal Ekonomi Digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun