Di bawah awan berarak, diterangi sang surya, Anisa memacu motor matic-nya. Terkadang suara klakson kendaraan lain mengagetkannya. Terkadang dia menyumpahi pengendara lain yang tak mau sedikit mengalah, tak mau sedikit mengerti keadaannya. Anisa sedang dilanda sakit kepala. Tekanan dari atasan adalah penyebab utamanya. Tentu saja, ada masalah asmara juga.
"Jancuk" kutuk Anisa pelan.
Pengap menyergap. Terdengar suara bisik bersahutan dari teman kerja Anisa, berbagi informasi mengenai artis Korea idola masing-masing. Terjebak khayalan seperti itu bukan gaya Anisa. Maklum, Anisa adalah mantan aktivis kampus. Anti melankolia adalah ciri khasnya. Lantunan musik iwan fals menjadi lagu wajibnya. Baju bergambar siluet Wiji Tukul dan Munir adalah seragamnya.
"Mba Aniiiis" teriak dari ruangan berdinding kaca.
"Eh, Iya bu" balas Anisa dengan nada malas.
Belakangan Anisa sering menghadap atasannya yang betubuh gempal itu. Produktivitas Anisa menurun drastis. Tugas utama Anisa adalah menjaring sebanyak-banyaknya pengunjung untuk datang ke kafenya. Sebuah kafe yang mengusung konsep literasi. Semakin banyak pengunjung yang nongkrong di kafenya, artinya publikasi Anisa telah berhasil. Namun, itu tidak terjadi belakangan ini. Kafenya sepi. Padahal sudah berkonsep ala-ala yang sedang tren.
"Kamu sakit, kok pucat?" tegur atasannya setelah menyeruput segelas teh hijau.
"Nggak bu" sahut Anisa datar.
Setiap kali berhadapan dengan atasannya, Anisa selalu menunduk. Dirinya pun heran. Apakah karena kedudukan mereka yang berbeda? Atau karena wajah atasan yang memang memuakkan untuk dipandang? Anisa hanya tertunduk dan sesekali mengagguk. Dulu, dirinya seorang pemberontak namun sekarang hanya bawahan yang tak bisa menolak.
"Minggu ini, kamu ngapain aja?" tanya perempuan paruh baya itu sambil memandang layar komputer.
"Banyak pengunjung lebih memilih nongkrong di luar Bu daripada di sini. Mereka bilang kalo di sini terus bosan".