Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Review “3 Nafas Likas”: Membaca Sejarah Indonesia Melalui Likas

18 Oktober 2014   01:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:37 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_367122" align="aligncenter" width="300" caption="Adegan 3 Nafas Likas (kredit foto www.selebuzz.com)"][/caption]

JudulFilm:3 Nafas Likas

Sutradara:Rako Prijanto

Bintang:Atiqah Hasiholan, Vino G Bastian, Tutie Kirana, Marissa Anita, Tissa Biani Azzahra, Arswendi Nasution, Ernest Samudra

Rated :**** (Excellent)

Suatu hari pada 1937 di Kampung Sibolangit, Karo, Sumatera Utara,seorang gadis cilik merayap di atas tanah. Matanya tertuju pada gundunyayang siap dijentikan ke gundu sasaran. Dia tidak mmeperdulikan baju dan rambutnya yang kotor.Teriakan Likas, Likas, Likas dari bocah-bocah seusianya tidak mengganggu konsentrasinya. Dia menjentikan jemarinya dan tepat ke gundulawannya naga.Likas menang diiringi sorak-sorai kawan sekampungnya.Tetapi lawannya Naga, menginjak-nginjak gundu Likas.

Salah satu adegan “3 Nafas Likas”- mengingatkan saya pada adegan Ainun kecil hendak memukul bola kasti dalam Habibie dan Ainun- mencerminkan bahwa sosok Likas adalah perempuan yang punya semangat hidup yang tinggi.Film ini bercerita tentang Likas Tarigan dari sejak kecil, remaja termasuk pertemuannya dengan Djamin Ginting, hingga usianya 90 tahun melintasiperiode panjang sejarah republik ini.

Saya tidak tahu terlalu banyak tentang Djamin Ginting.Yang pernah saya baca waktu meneliti sejarah Bandung 1950-an, Pikiran Rakjat dalam salah satu edisinya pada 1956 menyebutkan bahwa Letnan Kolonel Djamin Ginting mengambil alih pimpinan Bukit  Barisan setelah Kolonel Simbolonberpihak pada PRRI. Ulf Sundhaussen dalam bukunya Politik Militer Indonesia 1945 hingga 1967, Jakarta LP3ES, 1986atas perintah Jakarta mengambil alih komando di Medan dan memaksa Simbolon mengundurkan diri ke Keresidenan Tapanuli.

Berharap bisa menyaksikan fakta sejarah ini membuat saya tertarik memilih menonton film ini karena tidak pernah ada film Indonesia yang menyinggung peristiwa perang saudara di Indonesia 1950-an.Sayangnya mungkin sineasnya ingin menghindar persoalan politik dan memang fokusnyapada istriDjamin Ginting, Likas peristiwa perseteruan antar perwira militer di Sumatera Utara ini hanya lewat satu adeganpembicaraan para perwira.Djamin Ginting (dimainkan Vino G Bastian) berseru: “ NKRI harga mati!”(sebetulnya saya tidak yakin idiom itu ada pada masa itu, sekali pun dari orang pro Soekarno.NKRI harga mati adalah idiom pasca refomasi).

Meskipun 3 NafasLikas memberikan pengetahuan baru.Setahu saya Aceh adalah wilayah yang tidak disentuh Belanda dalam Perang Kemerdekaan.Tetapi ternyata Djamin Ginting dan istrinya Likas (dimainkan dengan baik oleh Atiqah Hasiholan)sempat berada di Aceh Tengah dan dibom oleh pesawat cocor merah mustang Belanda. Cukup heroik saat perang kemerdekaan itu Likas melahirkan ingat lagu  "Butet". Saya tersentuh melihat adegan seorang ibu di pengungsian mengendong bayinya yang sudah membiru. Peristiwa Medan Area juga begitu real.Djamin Ginting bukan sosok Rambo, tetapiia tertangkap tentara sekutu dan Likas berupaya membebaskan suaminya. Hasilnya  dia menemukan Djamin babak belur. Manusiawi sekali.

[caption id="attachment_367123" align="aligncenter" width="300" caption="Adegan dalam 3 Nafas Likas (kredit foto www.wowkeren.com)"]

14135441331962264627
14135441331962264627
[/caption]

Tetapi bagi yang tahu sejarah, revolusi di Sumatera Utara tidak hanya menyajikan pertempuran antara pasukan Indonesia dengan pasukan Belanda, tetapi ada yang disebut revolusi sosial yang membuat sejumlah bangsawan di Sumatera Timur terbunuh, termasuk penyair Amir Hamzah. Film 3 Nafas Likas juga tidak menyinggung hal ini-sekali lagi mungkin nilai politisnya tinggi, sama seperti film Habibie dan Ainun tidak menyinggung soal pembreidelan Majalah Tempo, Tiras dan Tabloid Detik. Tetapi ada satu adegan menarik soal kesenjangan waktu resepsi makan sesudah pengakaun kedaulatan antara Djamin Ginting, perwira lain dan istri mereka hanya punya dua lembar pakaian, sementara para petinggi Indonesia Timur di bagian depan mengenakan pakaian mewah.

Periode 1960-an di mana Djamin Ginting sudah menjadi perwira tinggi seharusnya juga bisa mengungkapkan hal menarik.Tetapi hanya digambarkan Likas dan anak-anaknya melihat peristiwa G30 S PKI melalui layar televisi di rumahmereka di Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru. Kemudian Likas ke lapangan terbang  Halim Perdana Kusuma,  mencegat pesawat agar mengantarkan surat untuk suaminya.Dia sempat memaksa untuk naik panser.Djamin Ginting akhirnya datang dengan panser memberikan surprise bagi istrinya: so sweet.

Saya tidak terlalu tertarik pada periode Djamin Ginting menjadi duta besar RI untuk Kanada hingga akhir hayatnya. Karena bagi sayaDjamin Ginting tidak melakukan hal istimewa.

Kembali pada sosok Likas. Bagi saya dia adalah perempuan yang tangguh.Likas kecil saja (Tissa Biani Azzahra)keras hati menuntut ilmu di sekolah guru (waktu itu harus di Padang Panjang). Sang ibu (Jajang C. Noer) tidak setuju. Tetapi ayahnya dan abangnya Njore ( Ernest Samudera) yang menjadi polisi mendukung dan membiayai.Sangat manusiawi ketika Likas menangis ketika pertama kali ditinggal di asrama.Cerita bergulir, Likas menjadi perempuan yang menyuarakan haknya di perkumpulan pemuda dan pemudi Karo yang membuatnya diusir karena melawan adat.Yang tertarik hanya seorang : Djamin Ginting.  Akting Tissa paling jempolan di mata saya.

Tentunya panorama alam  Sumatera yang amboi indahnya, rumah-rumah perkampung yang panggung begitu eksotis dengan lantai kayu, anak sekolah yang belajar dengan sabak begitu detail.  Begitu juga dialek bahasa lokalnya natural. Prolog Hilda seorang wartawati (aduh mengapa sih, wartawan itu harus disimbolkan bawa kamera digantung lagi, mengapa tidak di dalam tas) menemui Likas Tua (Tutie Kirana) untuk membuat otobiografidan kemudian flash back biasa saja.

Hilda (Marissa Anita, mungkin karena wartawan cukup baik memainkan karakter ini)tidak merekam tetapi mencatat. Cara interview-nya wajar seperti wartawan umumnya, santai tetapi serius.Dialog mereka menarik, terutama ketika Likas mengatakan :“Hal yang saya paling saya takuti kalau bangun tidak mengingat apa-apa” .Termasuk kenangannya terhadap tiga orang yang memberikan nafasnya, ayahnya, abangnya dan suaminya Djamin Ginting.

Secara keseluruhan film ini bagus.Karena susah bikin film sejarah itu.Harusnya sineas Indonesia cari ide ya seperti ini, kalau tidak dari novel yang sudah diterbitkan atau di online. Daripada bikin film horror dan drama remaja yang copy paste film luar.Bagi saya 3 Nafas Likas seperti membaca sejarah Indonesia melalui ibu rumah tangga bernama Likas.

Irvan Sjafari

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun