Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bandung 1956 (7) Jusuf Panigoro dan Geliat Pedagang Menengah Pribumi, serta Pergolakan Buruh di Pabrik Philips

28 Agustus 2014   21:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:16 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1409209995481554453

[caption id="attachment_355847" align="aligncenter" width="300" caption="Iklan Toko Halim terselip di antara iklan toko-toko menengah pada 1950-an ( Kredit Foto: Majalah Pedoman Pedagang dan Perusahaan)"][/caption]

Pada pertengahan Juni 1956 tersebar kabar bahwa pemerintah memberikan kesempatankepada pedagang menengah untuk mengimport barang-barang tertentu.Kalau ini terjadi, maka akan mendorong para importir menjadi pedagang menengah.Reaksi atas kabar itu muncul dari Ketua Persatuan Pedagang Menengah di Bandung.Salah satu tokoh utamanya adalah Jusuf Panigoro (sejarah kemudian mencatat dia adalah ayah dari pengusaha kondang Arifin Panigoro), salah satu pengusaha pribumi yang cukup berada di Kota Bandung.

Jusuf Panigoro membuka kesempatan bagi setiap orang menjadi pedagang menengah. Hanya dia mengingatkan bahwa mereka yang masuk harus memenuhi syarat seperti mempunyai toko atau pand berisi barang-barang yang akan diperdagangkan.Untuk memenuhi syarat ini seorang yang ingin mausk menjadi pedagang menengah membutuhkan modal (masa itu disebut uang capital) paling sedikit Rp1 juta, belum terhitung ongkos-ongkos untuk mendapatkan pand itu (Pikiran Rakjat, 16 Juni 1956).

Sementara untuk menjadi seorang importir cukup membuktikan bahwa dia memiliki rekening bank sebesar Rp500.000, sekali pun tidak diketahui dari mana asalnya uang itu.Namun menurut Jusuf kalau rush terjadi maka tercapailah suatu keseimbangan antara jumlah pedagang menengah dan importir. Hanya saja bukan soal prosedural pedagang menjadi masalah, tetapi orang Indonesia asli yang terliabt dalam dunia perniagaan tidak mengembirakan.

Pada waktu itu di seluruh Indonesia hanya ada sekitar 800 importir yang orang Indonesia asli dari sekitar3000 orang.Di Kota Bandung jumlah pedagang yang warga negara Indonesia aslihanya sekitar 50 orang. Namun orang Indonesia di Bandung yang tergabung dalamperkumpulan Pedagang Menengah Besar hingga 1953 hanya 4 orang dari 168 anggota. Dari jumlah itu 89 bangsa Eropa, 57 orang Tionghoa dan 18 anggota bangsa India.

Sekitar 90 persen toko-toko di Braga terlalu dimilikiorang asing.Hanya beberapa toko yang dimiliki orang Indonesia, di antaranya Toko Harapan (yang berjualan kain ) yang dimiliki oleh Jusuf Panigoro dan Toko A. Kasoem yang bergerak di bidang optik (penjualan kacamata).Nama orang Indonesia yang disebut masuk dalam jajaran pengurus pada 1953 hanya disebutkan R.M. Hidajat ,etrselip antara nama-nama seperti K.H.Wildschutte, J.P. Hendricks,nama pemilik toko kain besar Gobind T. Hassaramyang merupakan keturunan India.

Dalam buku Berbisnis Itu (Tidak) Mudah Pengalaman Arifin Panigoro, editor Sudirman Said terbitan YPP, 2005 cerita tentang munculnya Jusuf Panigoro hanya disinggung sedikit.Kakek Arifin disebut Halim disebutkan sebagai pedagang batik di Bandung.Sayamelacak referensi lain dan menemukan dalam majalah Pedoman Pedagang dan Pengusahaterbitan tahun 1950 (Nomor 3) ada iklan yang menyebutkan Taman Batik Toko Halim yang berlokasi di Jalan Pasar Barat 16, Bandung berjualan kain batik, kain Cita, kopiah dan sebagainya.Informasi pas dengan pengalaman Arifin kecil ketika memotong kain cita.

Sumber lain menarik cerita Dedi Sjahrir Panigoro di blognya menyebutkan bahwaM. Halim, pemilik Toko Batik Halim di Pasar Baru Bandung adalah mertua Jusuf Panigoro. Dari mertuanya ini Jusuf mempelajari dagang, hinggaHingga beberapa tahun kemudian mendirikanToko Harapan yang bertempat di sebuah ruko (rumah toko) di jalan Lengkong Besar No. 75 Bandung.Rukonyatidak bertingkat seperti sekarang, tetapi berderet horizontal:bila tokonya di depan, maka rumahnya di belakang. Menurut cerita Dedi ruko itu merupakan bantuan pinjaman dari seorang pengusaha pribumi, seorang produsen oncom Milo yang terkenal di Bandung.

Jusuf mulanya menjualberbagai keperluan rumah tangga dan dibuat pula kopiah-kopiah, meneruskan tradisi toko Batik Halim. Usaha Toko Harapan pun meningkat saat toko ayah diangkat menjadi penyalur resmi produk Phillips.Kekuatan Jusuf adalah kefasihan berbahasa Belanda, sheingga bisa mendapat jaringan yanglebih luas. Dari Jalan lengkong ini, Jusuf menyewa toko yang lebih besardi jalan Braga No. 111.

Menurut catatan Pikiran Rakjat 1 September 1956 sejumlah toko-toko terkemuka yang tergabung Persatuan Pedagang Menengah di Bandung yang bermarkas di Jalan Naripan nomor 5. Toko-toko itu antara lain NV JF Roth and ZN, Tan Tjoei Gin, CV Tempo Trading Coy, Toko Canada, Onderling Belang, Preanger Studio, Maison Bogerijen, Toko De Zon, Au Bon Marche, Toko Liberty, Toko Kota Tujuh, King Studio.

Suatu peristiwa yang cukup penting menyangkutdunia perniagaan ialah terbentuknya sebuah “panitia aksi”sebagai hasil pertemuan antaraWalikota Bandung Enoch dengan para anggota DPD Kota Besar Bandung di satu pihak dengan DewanEkonomi Jawa Barat di pihak lain. Kehadiran panitia ini dipandang sebagai pernyataan goodwill dan good understanding antara kedua belah pihak.Panitia ini akan menelaah peraturan yang meliputi soal perusahaan dan kehidupan ekonomi umumnya (Pikiran Rakjat, 12 September 1956).

Pihak DEI Jawa Barat mempertanyakan mengapa dalam perizinan dipakai ketentuan-ketentuan yang menguntungkanpihak bukan Indonesia, padahal ada ketentuan lain yang bisa diapakai, sekalipun ketentuan itu dari masa kolonial.Salah satu contoh ialah perizinan mendirikan bangunan di tikungan Braga-Lembong.Aturan masa kolonial Jalan lembong itu lebarnya harusnya 18 meter, tetapi ternyata pendirian gedung membaut jalan lebarnya tinggal 14 meter.

Tanah di tikungan itu telah diminta olehYayasanKrida Budaya. Tetapi perimintaan ini ditolak dengan alasan kota besar mempunyai rencana di atas tanah itu.Yang terjadi kemudian sbeuah gedung kepunyaan orang Tionghoa berdiri di lahan itu dan itu jelas melanggar ketentuan. Namun walikota mengemukakan kesulitan yang dialaminya karena adanya dualisme dengan pemerintah pusat.

Pada September 1956 Persatuan Kaum Menengah Bandungmerayakan ulang tahun ke 35-nya dengan mengadakan sayembara . “ Berbelanjalah di toko kami dan ikutilah tebakan dari Persatuan Kaum Menengah Bandung.: Bila tuan berbelanja di bagain perabot rumah tangga, tekstil dan batik, klontong , makanan dan minuman sejumlah Rp25 tiap bagian.Tuan akan mendapat suatu ketika sepeda kumbang Kreidler K50, mesin tulis, arloji titus hingga vulpen”(Pikiran Rakjat,3 September 1956).

Pemogokan Buruh Philips Bandung

Kehadiran Philips di Bandung memberikan peran menarikbaik bagi dari segi sosial ekonomi, sosial politik maupun gaya hidup.Philipstelah hadir di Indonesia sejak1895, pada masa Kolonial (Nederlandsch Indie).Menurut sejarahnya, perusahaan ini berawaldi bawah panji NV Philips Fabricageen Handels Maatschappij mendirikan pabrik lampu di Surabaya pada 1940.Namun ketika pada 1948 pabrik untuk sarana telekomunikasi didirikan di Bandung , maka Philips kemudian dipindahkan ke Bandung.

Dalam Majalah Pedagang Menengah Indonesia, Januari 1954 disebutkan Philips berpusat di Jalan Modjopahit 34-38, Jakarta memproduksi record player, piringan hitam, selain alat-alat listrik dan radio.Selain di Bandung, Philips juga punya jaringan di Medan, Palembang, Semarang dan Surabaya. Dalam majalah itu disebutkan bahwa Direktur Perusahaan Philips Indonesia sebetulnya dijabat orang Indonesia bernama Ir.P. Pringgo Disardjo.Merk Philips sudah begitu melekat di kepala orang Indonesia,
terutama di era 1950-anhingga era 1970-an.

Pada awal September 1956 Philip Fabricage memasangiklan lowongan kerja untuk bagian komersil, teknik dan administrasi pada organisasinya di Indonesia. Kriterianya mereka paling tidak luluspendidikan sekolah menengah(Pikiran Rakjat 3 September 1956).Rekruitmen ini mengisyaratkan bahwa perusahaan ini sedang mengembangkan usahanya di Indonesia.

Namun pada 12November 1956 terjadi pemogokkan buruh Phillips di Bandung , baik yang bekerja di pabrik di kawasan Kiara Condong,maupun yang bekerja di kantor cabang dan agen Phillips di Jalan Asia Afrika, serta Jalan Banten, Bandung.Pemogokan itu terjadi karena perundingan antara pihak buruhyang bergabung dalam Persatuan Buruh Philips /SOBSI-GSI dan majikan Philips mengenaipemecatan 74 orang buruh gagal(Pikiran Rakjat 13 November 1956). Pihak Philips sendiri berdalih bawa pemecatan karena pesanan radio saat itu sedang sepi .Sementara buruh menuding pihak Philips ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar (Pikiran Rakjat, 29 September 1956).

Menurut E Sadikin,juru bicara buruh keputusan untuk aksi mogok itu diambilkarena pihak majikan belum mengambil langkah untuk mendekati buruh.Pada hari pertama pemogokan terjadi pertengkaran mulut yang sengit antara Stakings Strekkers dan para buruh.Para majikan Belanda ini dituding melakukan penghinaan terhadap buruh (Pikiran Rakjat, 14 November 1956).

Pemogokan di Pabrik Philips inibersamaan waktunya dengan memburuknya hubungan Indonesia- Belanda soal pengembalian Irian Barat dan pembatalan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB).Dalam Pikiran Rakjat 17 April 1956ekonom Indonesia terkemukan saat ini Prof. Dr.Soemitro mengemukakan penolakannya terhadap pembayaran hutang pada Belanda menurut perjanjian KMB.

Djika kita tidak membajar hutang pada Belanda , itu sama sekali tidak berarti bahwa kita melanggar undang2 karena perdjanjian KMB sudah dibatalkan. Hutang kepada Belanda atas perdjanjian KMB sudah ditangguhkan sedjak kabinet Burhanuddin Harahap.Jang melanggar lebih dahulu perdjanjian KMB bukan kita, melainkian belanda sendiri. Sebab mengenai Irian Barat Belanda tidak memenuhi perdjanjian jang didasarkan atas penjerahan kedaulatan jang komplit, riil dan tanpa sjarat2. Hutang jang dibebankan belanda paad Indonesia sebenarnja melanggar azas-azas moral. Sebagian hutang negara Hindia Belanda digunakan untuk membiajai pendudukan tentara Belanda di Indonesia. Ketika tentara Btersebut melakukan pembunuhan pada rakjat Indonesia…”

Irvan Sjafari

Sumber –sumber:

Blog dan situs


http://koleksitempodoeloe.blogspot.com diakses pada 25 Agustus 2014

http://dedipanigoro.blogspot.com/2008/04/meniti-usaha-di-bandung.htmldiakses pada 27 Agustus2014.

Surat Kabar dan Majalah

Majalah Pedagang Menengah Indonesia Januari-April 1954

Pedoman Pedagang dan Perusahaan, Tahun 1950, No.3

Pikiran Rakjat, September-November 1956

Buku:

Said, Sudirman, editor Berbisnis Itu (Tidak) Mudah: Pengalaman Arifin Panigoro, Jakarta: YPP,2005.

Tulisan Terkait:

http://sejarah.kompasiana.com/2012/02/21/bandung-1952-5-pesta-bunga-mobil-dan-neon-437275.html

http://sejarah.kompasiana.com/2013/11/30/inspirasi-jawa-barat-1950-an-2-atjoem-kasoem-juragan-kacamata-dari-garut--612636.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun